Jumat, 25 April 2014

Rabu, 23 April 2014

Cerpen: Seuntai Doa, Secangkir Harapan

Aku duduk di dahan pohon rambutan di pekarangan rumahku. Kugoreskan pensil di atas kertas putih yang lusuh. Kemudian aku menatap ke dahan di sebelah kananku. Aku melihat bayi-bayi burung di sebuah sarang. Kemudian kupalingkan muka ke kertas lagi. Kembali kugoreskan pensil. Saat sedang asyiknya, tiba-tiba ada suara yang memanggilku, “Anne, di mana kau?”
Itu suara kakakku. “Aku di pohon”, sahutku. Kudengar langkah kakakku bergegas kemari. “Sedang apa kau di sana?”, tanya kakakku dari bawah. “Cuma sedang menggambar burung”, jawabku dengan santai. “Tunggu! Aku mau lihat,” seru kakakku sambil memanjat dengan cekatan. “Wah, lucunya! Bagaimana kamu bisa menemukannya?”, tanya kakakku sesampai di atas. “Secara kebetulan saja. Aku sedang menyapu, tiba-tiba kudengar suara burung berkicau. Lalu aku memanjat pohon ini. Aku melihat ada induk burung ini. Sejak itu aku sering ke sini. Pagi itu, aku melihat si betina sedang mengerami telurnya. Aku senang sekali waktu itu. Makin rajin aku datang ke sini. Tadi pagi kulihat anak-anaknya sudah menetas. Lalu muncul ide untuk menggambar mereka”, jawabku sambil terus menggoreskan pensil. Kakakku menatap bayi-bayi burung itu. “Mengapa kamu tak pernah cerita? Kamu kan tahu aku senang pada satwa.”
“Yah, waktu itu aku takut burung-burung ini merasa terganggu. Maaf, deh. Lain kali aku akan cerita”, kataku sambil memandang kakakku yang jangkung itu. Kakak hanya tersenyum. Dia melirik gambarku. “Mirip sekali gambarmu dengan mereka. Aku heran mengapa teman-temanmu selalu mencemooh gambarmu?” Aku menghela nafas panjang, lalu melanjutkan gambarku. “Mereka menganggap orang tak mampu seperti kita tak pantas dihargai. Kakak kan tahu sendiri. Tapi untungnya guru-guru di sekolah selalu membesarkan hatiku. Tapi tetap saja tidak enak berada di kelas yang tidak ramah. Mungkin gambarku memang jelek!”
Kakak merangkul bahuku. “Sudahlah, dik. Tuhan sedang menunjukkan jalan yang terang buatmu. Buktinya kamu bisa dapat beasiswa  dari sanggar seni milik Om Nyoman. Padahal kamu hanya sedang melukis di taman kota yang tidak tahu ternyata sedang berlangsung lomba lukis, lalu Om Nyoman tak sengaja melihat gambarmu dan bercerita ke yang lain. Beberapa hari kemudian Om Nyoman datang dan mengatakan akan memberikanmu beasiswa untuk bersekolah di sekolah terbaik di kota ini. Kau beruntung sekali mempunyai talenta yang hebat!” Kakak menggenggam tanganku. “Jangan cemas. Kami akan selalu mendukungmu.” Aku hanya tersipu.
“Itu suara Ibu memanggil kita. Yuk!” ajak Kak Andi. “Kami datang, Bu!”, seru Kak Andi. “Kemana saja kalian?”, tanya ibu. “Om Nyoman sudah menunggu kalian sejak tadi.” Aku terperanjat. Aku langsung menemui laki-laki yang duduk di kursi rotan itu. “Sore, Om”, ucapku seraya menyalami Om Nyoman. “Halo, Anne. Di mana kakakmu? Oh, itu dia. Bagaimana kabar kalian di sekolah?” “Nilaiku lumayan. Tapi teman-teman masih menjauhiku.” Aku menyeletuk.
“Kamu tidak boleh menyerah! Mungkin mereka hanya iri saja. Kamu jangan pernah berhenti menggambar. Saya yakin kelak kamu akan menjadi pelukis ternama!” kata Om Nyoman. “Mmm... Om memangnya ada perlu apa kemari?” tanya Kak Andi. Om tersenyum, “Om ke sini untuk mengabarkan ada Lomba Lukis Remaja Berbakat Nasional atau biasa disingkat L2BHN. Jika kamu bisa lolos di tingkat kecamatan, kota, dan provinsi, kamu akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia. Di sana kamu diadu lagi dengan peserta lain. Menurut Om, gambarmu itu sudah tidak hanya layak untuk diikutkankan lomba tetapi memiliki nilai seni yang tinggi. Tapi, jika Anne mau menambah pengalaman, mencari teman baru, dan melihat kemampuan anak-anak lain, tak ada salahnya mengikutinya,” jelas Om Nyoman dengan penuh senyum.
“E, e, e, Om. Aku tidak punya alat mewarnai yang memadai. Krayonku sudah pendek-pendek. Kertas yang kupakai biasanya kertas bekas. Pasti kalah dengan anak-anak yang alat-alatnnya mahal! Aku tidak yakin bisa menjadi juara”, kataku setelah beberapa saat sambil terbata-bata. Ibu menghampiriku dan mengelus rambutku. “Nak, jika kamu ingin ikut, ibu akan mendukungmu sepenuhnya.” Kak Andi menyeletuk, “kalah dan menang itu tak masalah. Lagi pula, itu tidak akan menghilangkan talentamu. Tidak semua orang bisa menggambar sepertimu, lho! Maksudku mau menggambar kucing, eh, jadi lebih mirip sapi!” Semua yang ada di ruangan ini tertawa mendengar leluconnya.
“Pokoknya ibu berusaha sekuat-kuatnya agar kamu bisa berhasil,” kata ibu sambil menggenggam tanganku. “Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tidak tega melihat ibu membanting tulang hingga tengah malam untuk membelikanku alat-alat lukis.” Aku sudah hampir menangis saja melihat ibuku yang lembut hati. Bagaimana jika aku kalah? Kasihan ibu sudah bekerja keras, tapi hasilnya nanti tidak ada.
“Ibu kan sudah tidak perlu lagi membiayaimu sekolah. Selalu saja ada sisa dari pendapatan ibu. Pokoknya biar kalah ibu tetap bersyukur karena memiliki anak yang hebat!” jawab ibuku tersenyum. “Om, juga akan membimbingmu.” ujar  Om Nyoman sambil tersenyum. “Kakak juga akan membantu dengan uang tabungan kakak. Ini kesempatan yang baik buatmu. Kami semua selalu mendukungmu. Kakak yakin suatu hari nanti kamu pasti berhasil.”
Aku terharu mendengarnya, “Terima kasih semuanya. Aku akan berusaha semampuku”, tekadku. “Nanti Om daftarkan kamu. Mulai besok jam tiga tepat Om akan datang untuk melatihmu.”
Malam ini aku susah tidur. Perasaan senang bercampur bingung. Senang karena bisa diajari melukis oleh Om Nyoman, tapi juga bingung karena ibu harus membanting tulang lebih keras lagi untuk membelikanku alat-alat. Aku bisa mendengar suara mesin jahit dari ruang duduk. Entah sampa kapan ibu begini. Aku bertekad suatu hari nanti aku akan membahagiakan ibu. Aku berdoa, “Tuhan, muluskanlah jalanku. Bawalah aku dengan tangan-tangan sucimu sehingga aku bisa berhasil.”
Aku selalu bangun mendahului matahari. Pergi sekolah sendiri. Setelah itu, pulang sekolah segera berganti pakaian dan makan siang. Pekerjaan rutin ibu kuambil alih. Menyapu, mencuci piring, menyikat baju dan menjemurnya, serta memberi makan ayam. Aku berangkat bersama Kak Andi untuk mengantarkan pakaian pesanan yang dijahit ibu. Jika kebetulan bertemu dengan teman di jalan aku dan Kak Andi sering diejek, tapi tak pernah kami acuhkan.
Setiap sore Om Nyoman datang untuk mengajariku. Makin hari aku terus memiliki kemajuan. Dia memberiku krayon baru. Tidak cuma itu saja. Dia juga memberiku cat, kuas, dan palet. Aku senang. Aku bertekad akan membalas budinya kelak.
Lomba semakin dekat. Sesekali aku latihan hingga tengah malam. Ibu selalu menemaniku sambil menjahit. Kasihan ibu. Dia kurang istirahat.
Saatnya lomba. Pertama, aku harus mengikuti seleksi kecamatan dan di tingkat kota. Aku selalu mendapat peringkat teratas. Ibu tak pernah absen mendampingiku setiap seleksinya. Hingga akhirnya seleksi provinsi yang menentukan siapa yang akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia. Hatiku berdebar-debar. Tapi perasaan itu tidak mengganggu konsentrasiku. Ibu duduk di kursi yang disediakan panitia. Waktu selesai. Aku telah menyelesaikan lukisanku yang bertema Budaya Indonesia itu. Pengumuman pemenang akan diberitahukan minggu depan.
Esoknya aku masih melukis. Aku berharap aku bisa menang untuk membanggakan ibu dan kakak. Tapi pengumuman yang dijanjikan tak kunjung tiba. Padahal sudah lewat dua minggu. Aku duduk di atas pohon sambil memperhatikan burung-burung yang pernah kugambar. Anak-anak itu bertambah besar. Mungkin sebentar lagi akan belajar terbang. Sekonyong-konyong dari bawah terdengar suara kakak memanggilku. “Dik, ada kabar dari Om Nyoman tadi!” Dengan cekatan aku turun dari atas pohon.
“Ada apa? Mana Om?”, tanyaku. “Tadi Om Nyoman kemari membawa kabar saat kakak sedang membuang sampah, tapi cepat-cepat pergi. Katanya dia mau bertemu seseorang. Dia juga bilang tidak bisa mengajarimu nanti”, jawab Kak Andi. “Selamat, Anne. Kamu juara 1! Kamu akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia.”
Aku hanya terpaku di tempat seperti orang tolol. Tiba-tiba aku melonjak-lonjak seperti orang gila. Aku tidak bisa menahan kegembiraanku. Setelah reda barulah aku bisa berbicara. “Benarkah itu? Dari mana Om tahu? Aduh, seperti sedang mimpi saja. Kamu tidak sedang mempermainkanku kan? Jika ternyata begitu akan kusiram dengan air!”
Kak Andi tertawa cekikikan melihat tingkahku. “Tentu saja aku serius! Kau pikir aku ini apa? Katanya, Om dengar dari temannya. Semua orang juga sudah tahu. Hanya saja pengumuman resminya belum keluar.”
Malam ini aku tidur nyenyak. Aku bermimpi pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia dengan pesawat terbang. Keesokan paginya, saat di sekolah, guru-guru mengucapkan selamat padaku, bahkan teman-temanku yang biasanya menjauhiku lain sekali sikapnya. Mereka lebih ramah terhadapku. Mereka tidak lagi mengejekku ataupun mencemooh gambarku. Segala pandangan mereka padaku berubah.
Dua minggu kemudian, saat aku masih belajar di kelas, tiba-tiba ibu guru memanggilku. Katanya, aku dipanggil kepala sekolah. Aku berjalan ke ruang kepala sekolah dengan gelisah. Perasaanku tidak enak. Ada apa ini? Tiba-tiba aku menggigil.
Saat masuk aku disambut dengan ramah oleh kepala sekolah. “Nah, Anne! Tentu kamu sudah tahu bahwa ada kabar yang mengatakan bahwa kamu juara 1 kan?”, katanya sambil tersenyum dengan sinar mata aneh. Aku menggigit bibirku sambil mengangguk pelan. “Nah, kabar itu memang benar. Ini baru saja suratnya sampai. Kalau tidak percaya kamu bisa membacanya”, katanya sambil menyodorkanku secarik kertas. Aku membaca surat itu. Di situ tertulis bahwa aku mendapat juara 1 L2BHN tingkat provinsi, tapi tidak ada keterangan bahwa aku akan dikirim ke Istana Pelukis Cilik Indonesia.
“Apakah aku akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia?”, tanyaku. Tiba-tiba kulihat raut wajah beliau yang tadinya riang menjadi suram. “Maaf, Nak. Saya tadi menanyakan ke dinas apakah benar dengan begitu kamu pergi ke sana. Ternyata tidak. Yang pergi hanya juara dua. Katanya ingin memberi kesempatan kepada anak yang lebih besar karena kamu dianggap masih terlalu kecil untuk ke sana. Bapak sudah berusaha agar keputusan itu diubah, tapi ternyata anak itu sudah berangkat dua hari yang lalu.”
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat di rongga mataku. Aku menangis tersedu-sedu di ruang kepala sekolah. Tak dapat lagi kubendung air mataku yang telah meleleh membasahi muka. Bu guru yang tadi memanggilku menghiburku. Ia merangkul dan mengajakku keluar. Aku masih menangis sampai mataku merah. “Jangan kecil hati. Kamu harus kuat. Lain kali bisa dicoba lagi”, kata bu guru dengan lembut. Aku masih menangis sampai di kelas. Temanku mengelelingiku. Mereka menghibur dan membesarkan hatiku. Tapi tetap saja tidak bisa menghibur hatiku yang lara. Sia-sia semua usahaku. Perasaanku saat ini kacau. Hatiku serasa ditikam-tikam pisau. Mengapa nasib begini kejam? Kalau ternyata kabar itu salah itu tak masalah bagiku. Tapi ini sudah jelas-jelas aku juara satu mengapa juara dua yang pergi? Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres. “Tabahkanlah aku, Tuhan..”
Saat berjalan pulang ke rumah aku masih terisak. Di tengah jalan aku bertemu dengan Kak Andi yang juga sedang berjalan pulang. “Lho, mengapa kamu menangis, dik? Ada yang mengganggumu?”, tanya Kak Andi prihatin. Lalu aku menceritakannya sambil berjalan. “Entah jika tahun depan aku ikut lagi apa yang akan dikatakan lagi supaya aku tidak ke sana. Pokoknya aku mau berhenti ikut lomba!”, tukasku. Kak Andi kaget mendengar kata-kataku. “Kau jangan seperti itu. Kalah menang sama saja. Lagi pula..” Belum selesai dia bicara aku langsung menjerit, “Pokoknya tidak ada yang bisa menghentikan tekadku!” Aku langsung lari masuk ke rumah. Semua orang memandang kami dengan heran. Kak Andi mengejarku. Aku lari masuk ke kamar dan menguncinya. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku menangis terisak-isak sampai bantalku basah. Terdengar suara Kak Andi masuk ke rumah dan bergegas ke kamarku. Dia mengetuk pintu, “Dik, buka pintunya.” Tapi aku hanya diam saja. Dari balik pintu terdengar suaranya menghela napas panjang. Aku masih terisak.
Lima belas menit kemudian ada suara orang mengetuk pintu. “Nak, ayo makan. Makanan sudah siap.” Itu suara ibu. “Aku masih kenyang”, jawabku sambil terisak. “Bukalah pintumu, Nak”, ujar ibu dari balik pintu. Tapi aku diam saja. Terdengar suara ibu menghela napas panjang dan melangkah pergi. Aku merenungi nasibku. Aku berjalan menuju jendela. Kulihat pohon tempat biasanya aku memperhatikan burung. Timbul niatku untuk keluar dan pergi ke atas pohon.
Aku membuka jendela kamar lalu meloncat ke tanah. Aku berjalan mengendap-endap ke pohon lalu memanjatnya. Aku melihat bayi-bayi burung itu berciap-ciap memanggil induk mereka. Lama sekali aku berada di atas pohon. Sampai aku melihat seorang pengendara sepeda motor berhenti di depan rumah. Itu Om Nyoman! Kuperhatikan dia berjalan masuk ke pekarangan. Lalu mengetuk pintu depan. Terlihat kakak membukakan pintu lalu mengajaknya masuk. Mungkin setelah ini mereka akan mencariku. Kakak pasti tahu di mana seharusnya mencariku jika aku tidak ada di kamar. Aku bergegas masuk ke kamar melalui jendela, lalu menutupnya. Aku juga menarik gorden menutupi jendela. Tepat saat itu aku mendengar suara bercakap-cakap di luar.
“Aku menyesal memberi tahu kabar itu, Bu. Seharusnya aku memastikan dulu kabar itu benar atau tidak”, kata Om Nyoman. “Berita itu memang benar, Pak. Tapi sayangnya bukan Anne yang pergi ke tingkat nasional. Ini kesalahan panitia! Tadi Anne tidak mau makan siang karenanya. Mudah-mudahan nanti malam dia muncul. Coba kau panggil dia, Ndi. Katamu dia biasa berada di atas pohon”, kata ibu. Terdengar suara Kak Andi memanggil-manggilku. “Ke mana lagi anak itu?”, tanya ibu cemas. “Nanti pasti muncul. Ibu tidak perlu cemas. Saya pamit dulu, Bu”, ujar Om Nyoman. Masih terdengar suara kakak memanggil.
Aku mandi dengan air dingin. Sedingin perasaanku. Sambil mengguyur badan dengan air aku masih merenungi kejadian ini. Saat keluar, aku bertemu Kak Andi. “Ke mana saja kau? Ibu sampai cemas memikirkanmu”, tanya Kak Andi. Tapi aku diam saja.
“Tuhan, berikanlah hamba-Mu kesabaran dalam menghadapi cobaan ini. Berikanlah ketabahan untuk terus berkarya. Jangan biarkan aku ini terpuruk dalam kelaraan”, doaku.
Hari-hari selanjutnya aku berusaha tegar. Walau masih teringat kejadian yang mengecewakan itu, aku tidak ingin ibu sedih melihatku. Karena itu aku melewatkannya dengan melukis. Om Nyoman masih mengajariku. Tak jarang Om menawarkanku berbagai macam kompetisi. Tapi selalu kutolak dengan halus. Aku tidak berminat dengan lomba lagi, tapi aku ingin tetap melukis. Makin hari, makin banyak lukisanku. Baik yang kertas maupun kanvas. Kamarku penuh dengan lukisan. Sampai-sampai sebagian kutitipkan di kamar Kak Andi. Lukisanku kebanyakan menggunakan pewarna alami yang kubuat sendiri. Ada yang dari kunyit, kembang sepatu, daun, dan masih banyak lagi. Aku sering bereksperimen dengannya. Lukisanku juga kubuat lebih ekspresif dan tanpa beban karena tidak terikat dengan tema-tema lomba. Aku juga membuat formula warna yang kuberi nama Formula Violeta. Dengan formula ini aku bisa melukis laut dalam yang indah sekali. Begitu pula jika aku mencampurnya dengan putih akan menghasilkan langit biru yang kemilau.
Aku juga sering menggambarkan perasaan hatiku. Di saat aku senang aku sering menarikan kuas untuk menggambarkan perasaanku. Jika hatiku sedang lara atau sedang jengkel, aku selalu menumpahkannya di lukisanku. Aku sering mengajari anak-anak jalanan dan murid-murid Om Nyoman melukis dengan bahan alami. Bahkan aku menyulap halaman rumahku menjadi tempat kursus melukis gratis untuk anak-anak jalanan dan yatim piatu. Awalnya aku gugup untuk menjelaskan bagaimana cara membuat warna-warna alami ini. Tapi seiring berjalannya waktu aku sudah terbiasa. Formulaku bisa di taruh di mana saja, bahkan semakin terpapar sinar matahari lukisanku makin berkilau.
Namun, banyak pelukis lokal yang tidak suka dengan terobosan baruku. Mereka menganggapku gadungan. Aku dianggap telah merusak keindahan seni rupa. Om Nyoman bahkan diancam untuk membubarkan kursus ini. Tapi Om tetap mempertahankan dan melindungiku. Aku sampai merasa tidak enak dengan Om. Aku juga tidak dianggap pelukis cilik di sini. Karena itu aku sering naik ke atas pohonku untuk menghibur diri.
Siang ini ada seorang pelukis yang datang ke rumahku mengancam agar membubarkan kursus gratisku yang dianggapnya konyol. Tapi aku tak kalah gertak. Aku melawan segala pendapatnya. Kak Andi dan ibu juga membelaku. Pelukis itu marah besar. Matanya melotot seperti katak hingga timbul perasaan bola matanya bisa keluar dari rongganya. Dia meninggalkan rumahku sambil meneriakkan berbagai ejekan. Para tetangga sampai keluar dari rumah mereka untuk melihat apa yang terjadi.
Aku menghela napas panjang. Aku tidak berselera untuk makan siang. Padahal ibu sudah memasak opor kesukaanku. Aku memanjat pohon lagi. Kupandang burung-burung kecil yang sedang bermain di sarangnya. Lama sekali aku duduk di atas. Hingga akhirnya ada suara Kak Andi memanggilku. Kelihatannya seperti tergesa-gesa. “Anne, ayo cepat turun! Dik, aku..” Belum selesai Kak Andi bicara aku sudah memotongnya. “Aku tahu maksudmu baik. Kamu tidak perlu menghiburku. Aku sudah biasa dengan situasi seperti ini.” Kak Andi menyela, “Bukan itu maksudku. Aku tadi mau..” “Sudah! Biarkan aku di sini”, kataku. Kak Andi sudah mulai kehilangan kesabaran. Dicampakkannya secarik kertas di tangannya ke tanah. “Ya, sudah! Padahal tadi aku mau memberitahumu kabar baik.” Kak Andi sudah hendak melangkah pergi. “Hei, nanti dulu! Kertas apa itu?”, tanyaku. Aku cepat-cepat turun dari pohon. Kak Andi menyerahkan kertas tadi. Raut wajahnya sudah ceria lagi.
“Kita semua diundang ke Venesia. Letaknya di Italia. Semua biaya akan ditanggung pemerintah dan Venice Biennale. Itu adalah pameran lukisan paling bergengsi di dunia!” Kak Andi menjelaskan. “Tapi aku kan tidak pernah berurusan dengan Veniece Biennal. Apakah mereka juga ingin menegur tentang formulaku?”, tanyaku dengan tergagap. Kak Andi tertawa. Rasanya seluruh dunia menertawakanku. “Tentu saja tidak! Justru sebaliknya. Kamu akan diberi penghargaan karena penemuan formulamu yang begitu gemilang!”
Aku terperangah mendengarnya. “Tapi aku kan tidak pernah mengirim surat mengenainya ke Venice Biennale”, kataku masih terbata-bata karena belum pulih dari rasa kaget. Kak Andi merangkulku sambil mengajakku masuk ke rumah, “Aku tidak ingin kamu terus tertekan karena ulah pelukis-pelukis lokal yang berpikiran sempit. Karena itu aku mengirimkan karya-karyamu ke Venice Biennal. Aku mendapatkan alamatnya dari internet. Aku menceritakan tentang kegagalanmu dalam lomba, lukisanmu, penemuan formula, dan pelukis-pelukis lokal yang mencemooh karyamu. Wah, aku sampai keringat dingin saat membuat surat dalam bahasa inggris. Sampai-sampai aku harus konfirmasi dengan temanku yang jago bahasa asing itu dan semua guru bahasa inggris di sekolahku dan guru bahasa inggrismu. Dan itulah balasannya.” Aku langsung memeluknya. Ternyata Kak Andi begitu sayang sekali padaku. “Ya, Tuhan Yang Maha Kuasa, terima kasih atas semua berkat yang telah Kau berikan padaku. Aku bersyukur mempunyai kakak yang begitu sayang padaku serta orang-orang disekelilingku yang selalu memberikan harapan dan semangat”
Sore ini aku memanjat pohon bersama kakak. Kami bisa melihat anak-anak burung itu sedang belajar terbang. Perlahan tapi pasti, burung-burung kecil itu bisa mengepakkan sayap mereka agar bisa terbang. Dengan pantang menyerah mereka akhirnya dapat membumbung ke langit jingga merona. Kami melambai kepada anak-anak burung itu disambut dengan kicauan induknya.
“Kak, sekarang aku sadar. Aku harus seperti burung-burung itu. Dengan tabah dan kerja keras mereka akhirnya bisa terbang ke angkasa. Bertumbuh dewasa dengan suka cita. Walaupun mereka masih muda tak dipedulikannya rasa takut bila jatuh. Mereka juga tidak peduli dengan kita yang sedari tadi menontoninya. Aku harus meneladani mereka!”, tekadku penuh keyakinan. Kak Andi tersenyum lalu meninju lenganku. Aku membalasnya, tapi dia menghindar dengan tangkas.
Om Nyoman sudah diberitahu tentang hal ini. Dia memberi selamat padaku berkali-kali. Ia bangga sekali kepada kakak dan aku. “Ibu, kita harus berkemas dari sekarang saja. Yuk, kita keluarkan koper tua kita dari gudang”, usulku. Kami pun sibuk berkemas.
“Aku mau membawa kaus ini.”
“Kalau Kak Andi mau membawa topi kesayangan.”
“Ah, iya! Ibu lupa memasukkan minyak angin dan bedak.”
Kami sibuk mengemasi ini dan itu. Tampak tumpukan barang-barang di pojok ruangan. Kemudian aku berjalan untuk melihat kalender. Tiba-tiba aku berseru, “Hei! Sekarang bulan Desember. Di sana kan sedang musim salju. Kita harus membawa pakaian hangat.” Akhirnya kami membongkar lagi bawaan kami.
Akhirnya tiba saatnya kami berangkat. Kami gembira sekali ketika sudah sampai di Italia. Inilah seumur hidupku pertama kalinya pergi ke luar negeri. Kami disambut seperti layaknya tamu terhormat. Ini pertama kalinya kami melihat menara Pisa yang sesungguhnya. Biasanya aku hanya melihatnya dari buku sejarah. Di sana aku juga disuruh bercerita bagaimana aku bisa melukis dengan formula bahan alamiku.
Sejak itu aku sering diundang untuk mengadakan pameran di luar negeri. Ibu dan Kak Andi selalu menyertaiku. Uang yang kudapat dari Venice Biennal kupakai untuk membuat asrama untuk menampung anak-anak jalanan dan yatim piatu. Di sini mereka tidak hanya diajari melukis. Aku mengundang guru matematika, sains, sejarah, dan masih banyak lagi. Kuberi nama Children’s Achievements Palace. Aku dan Om Nyoman bergantian mengajari mereka melukis. Aku juga membuat tempat untuk memamerkan hasil karya mereka di dekat pantai di samping karyaku. Banyak juga anak-anak dari kalangan menengah maupun atas yang belajar melukis padaku pada jam-jam tertentu. Pelukis-pelukis yang dulu menentangku terperangah ketika mengetahui bahwa aku diundang Venice Biennal atas keberhasilan formulaku.
Puji syukur kepada Tuhan karena telah mengabulkan untaian doaku. Terima kasih Ibu,  Kak Andi, Om Nyoman dan semua orang yang senantiasa selalu mendukungku sehingga aku bisa berhasil menggapai cita-citaku. Terima kasih pula burung-burung kecil yang telah mengispirasiku selama ini...
***
65 tahun kemudian
            Kututup buku biografi nenekku. “Tak kusangka ternyata nenek dulu pernah mengalami jalan yang berliku-liku sebelum menjadi orang yang sukses. Banyak cobaan yang harus dihadapi untuk mencapai keberhasilan, terutama untuk berbuat kebaikan. Kini aku menjadi seorang pemimpin. Aku sudah berusaha memperbaiki masalah pangan dan politik. Kini negeri ini tidak lagi mengimpor bahan pangan. Sudah jarang ada pejabat yang berani korupsi. Namun, masih banyak yang mesti kuperbaiki. Aku ingin seperti nenekku yang hingga saat ini masih menampung anak-anak jalanan dan yatim piatu serta mengajari mereka banyak hal. Kabarnya mereka banyak yang menjadi orang sukses”, benakku.
            Di atas meja ada banyak sekali tumpukan kertas. Di tengahnya ada secangkir susu kedelai. Kucium aromanya. Kuteguk susu yang hangat. Senyumku menghiasi wajah lelahku. Aku bangga meminumnya karena ini merupakan hasil dari keringat rakyat negeri ini. Masih banyak tugas dan rintangan yang menanti. Namun, aku sudah siap menghadapinya, karena aku masih punya secangkir harapan untuk memulai hari ini dengan lebih baik lagi.
**Selesai**

Ini cerpenku saat mengkuti Lomba Menulis Surat Remaja 2013. Puji Tuhan bisa menjadi juara harapan. Semoga tahun ini bisa menjadi juara lagi :)

Minggu, 06 April 2014

SURAT CINTA UNTUK BUNDA

Mataram, 22 Desember 2013
       Kepada Bundaku tercinta     
Baluran Cintamu Mengubahku dari Biasa Menjadi Bisa

Kurasakan baluran cintamu sepanjang waktu
Hangat, tentram, dan mendamaikan
Yang tidak akan pernah berakhir untuk selamanya
Yang tak dapat ditukar dengan apapun jua
Sekali pun aku mampu
Membangun butiran pasir menjadi gunung
                Tak dapat kubayangkan, bagaimana rasanya  menjadi dirimu, Bunda? Torehan demi torehan rasa sakit dan nyeri menderamu di kala melahirkanku. Wajah letih dihiasi senyum kebahagiaan setelah aku lahir. Menyusuiku untuk menghilangkan lapar dan dahagaku. Saat aku beranjak balita, aku mencoret-coret tembok rumahku yang baru selesai dicat. Tidak hanya tembok, tapi juga seprai, bantal, guling, lemari, dan meja. Kutorehkan semua ekspresiku melalui spidol, pensil, dan krayon. Aku bahkan tidak merasa bersalah. Namun, Bunda tetap tersenyum bangga. Menampakkan kepuasan seperti orang yang baru menemukan harta karun terpendam yang saat itu tak dapat kumengerti. Bahkan Bunda terus membelikanku krayon, spidol, pensil, dan pensil warna.
Saat aku mulai sekolah, Bunda bangun subuh-subuh untuk menjadi koki. Memasak makanan untuk keluarga demi menciptakan energi baru untuk memulai hari yang baru. Bunda selalu mengecup pipiku sebelum aku berangkat sekolah seraya berkata, “Baik-baiklah di sekolah. Belajar yang rajin, Nak. Capailah mimpimu seperti  meraup butiran pasir” Ketika aku pulang sekolah, Bunda selalu menyambut dengan senyum manis seraya bertanya, “Bagaimana harimu di sekolah?” Dengan sabar Bunda mendengarkan kisahku. Ketika aku menceritakan kisah gembiraku, Bunda juga turut berbahagia. Dikala aku terpuruk, Engkau berusaha menyejukkan hatiku dengan kata-kata penuh motivasi.
                Saat malam tiba, Bunda  menjadi guruku yang paling setia. Menungguiku hingga aku selesai belajar dan menjawab semua pertanyaan kekanak-kanakanku. Bunda juga bagaikan guru asronomi yang menunjukkan berbagai rasi bintang padaku. “Ananda tidak akan pernah tersesat jika memperhatikan lukisan rasi bintang Sang Pencipta. Lihatlah rasi bintang Orion. Ekor kalajengkingnya selalu menunjuk ke arah barat”
                Bunda tidak pernah alpa tentang minat dan bakatku. Engkau selalu yakin aku dapat meraih cita-citaku. Bunda selalu mendukung cita-citaku menjadi pelukis ternama. Aku ingin seperti Leonardo da Vinci. Kadang kala, aku merasa tidak mungkin meraih cita-citaku yang begitu tinggi. Aku merasakan dunia seakan meledekku. Tertawa terbahak-bahak yang menggema dan bergaung di seluruh jagad raya. Berbagai cemooh dan caci maki melandaku bagai tsunami.
Sungguh menyesakkan hatiku. Aku merasa demikian kerdil. Apakah Bunda salah? Mungkinkah Bunda hanya bercanda? Yang jelas Bunda tidak mungkin berdusta. Saat dimana posisiku berada di titik nol. Bunda datang dengan baluran cinta yang terasa hangat dan tentram. Alunan kata-kata penyejuk hati telah mendamaikan hati kecilku. Sorotan matamu yang jernih menatapku penuh arti. Sulit kulukiskan diatas kanvas. Semangat juangmu bergelora melalui denyut nadimu hingga mengalir ke jiwaku. Dan aku bangkit kembali menegakkan kepala. Siap bekerja keras meraih mimpi! Dari belakang, Bunda memberiku energi positif yang sangat berarti untukku agar maju.
                Kini, aku dikenal sebagai pelukis cilik. Meskipun aku sadar aku belum meraih cita-citaku seutuhnya. Dan aku yakin dengan cinta Bunda aku bisa melahirkan karya-karya yang lebih baik esok. Aku sering merenungkan, bagaimana aku tanpa Bunda? Ananda bukanlah siapa-siapa. Bunda benar-benar memahamiku. Andai saja Bunda menyembunyikan semua alat tulisku agar aku tidak mencoret-coret, tentu aku tidak akan bisa berekspresi menemukan minat dan bakatku. Bunda mengubahku dari aku yang biasa menjadi bisa! Terima kasih Bundaku tercinta.
                Tuhan, kupanjatkan puji syukur kehadirat-Mu atas karunia yang terindah yang kau berikan padaku. Terima kasih Engkau telah memberikanku Bunda yang hebat. Berilah berkah panjang umur dan kesehatan yang baik sehingga kelak aku dapat membahagiakan Bunda.
Peluk Cium Ananda,



Metta Alvionita Heriyanto

CERPEN: DENTANG CINTA SEPANJANG MUSIM (KARYA: METTA ALVIONITA HERIYANTO)

Malam yang sepi dan sunyi. Kabut tipis melingkupi keheningan malam. Sebuah lampu jalan berkedip remang-remang. Yang terdengar hanya desau angin. Aliran air yang menggelitik bulu roma. Sang rembulan menyembul dari balik awan sirius. Ekspresi malam yang cukup membuat orang ciut seperti celurut. Aku pirsa seorang wanita tua dengan tongkatnya berjalan pelan ke sebuah pemakaman membawa serangkai bunga yang indah dan harum semerbak. Gaun hitamnya berdesir di antara rerumputan dan dedaunan kering. Rambut putihnya berkibar oleh hembusan angin malam. Memantulkan sinar keperakan. Nafasnya tetap berasimilasi dengan tenang. Aku terbang tanpa suara mengikuti wanita tua itu dari atas kepalanya. Dia berhenti di depan sebuah batu nisan putih yang berdebu. Di sana tertulis:
Raisa Agustina (17 Agustus 1996 - 15 Desember 2093)
Walaupun ragaku telah membusuk
Rongkonganku hanya tinggal sukma
Helaian rambutku menyatu dengan tanah
Dan darahku mengalir bersama siklus air
Jiwaku tak akan pernah hancur untuk menyelamatkan planet ini
Kuingin bereinkarnasi di setiap ruang dan waktu
Menyempurnakan setiap detail misiku
Wanita tua itu tersenyum dan duduk di samping batu nisan. Ditaruhnya rangkaian bunga itu ke tanah dan menngucapkan doa. “Aku tak akan melupakan jasa dan cintamu. Aku akan selalu melanjutkan misimu. Menyempurnakan setiap detailnya. Aku sudah menceritakan kepada anak-anak dan cucuku tentang kisah perjuanganmu” Dan ia mengenang kembali memori bertahun-tahun silam.
*
Aku hanya seorang gadis jelata yang berasal dari keluarga miskin. Keluargaku memang miskin harta, tapi tidak miskin iman. Aku tahu, aku tidak bisa menuntut banyak kepada orangtuaku yang hanya bekerja sebagai pemulung. Upahnya tidak banyak. Namun, cukup untuk makan tiga kali sehari. Aku mendapat beasiswa dari pemkot karena aku anak tak mampu. Semua temanku mengetahui latar belakangku. Tak jarang mereka mengejek, mencemooh, dan mencaci makiku. Lidah mereka sering membuat hatiku sakit! Seperti berjalan di atas jalan setapak berduri dengan kaki telanjang. “Idih, ada anak sampah lewat! Makan ditemani sampah, mandi dekat sampah, tidur bersama sampah!” Aku tahu Tuhan sedang menguji kesabaranku. Setiap kali mereka mengejekku dengan lidah tajam, aku selalu berdoa, “Tuhan, berikanlah aku kesabaran dalam menghadapi ujianmu, agar aku bisa membanggakan ayah dan bunda”
Setiap pulang sekolah, aku membantu ayah dan bunda memulung sampah. Kupungut semua sampah yang dapat aku lihat dengan pengait besiku. Aku sering diledek ketika kebetulan bertemu dengan teman-temanku. “Oi, anak sampah! Boleh kami ikut membantu?”, teriak salah seorang anak. Mereka akan tertawa terbahak-bahak. Walaupun diperlakukan demikian aku tidak cengeng. Kepalaku tegak dan pandangan lurus ke depan.
Setelah karung besarku telah penuh sesak, aku akan beristirahat di bawah pohon mahoni di taman kota. Aku sering curhat dengannya walaupun aku tahu mungkin dia tak akan mendengar. Pohon ini bertambah suram sejak beberapa pohon di sekitarnya ditebang untuk memperlebar jalan. Daunnya yang hijau telah menguning dan meranggas. Kulit kayunya bertambah rapuh.
Di tubuhnya ditempeli berbagai sirkuler. Mulai dari kuras wc hingga kampanye-kampanye yang penuh pencitraan palsu. Tak tahukah mereka itu melukainya? Tak tersentuhkah hati mereka kalau dia terluka, sampai mengeluarkan darah? Ada pula yang mengukir berbagai sumpah serapah seakan itulah realisasi dari pohon mahoni ini. Hari ini ada lagi selebaran kuras wc yang dipakukan dengan paku payung di tubuh sahabatku. Aku mencabut paku itu. Seketika lecet itu mengalirkan darah kentalnya. Aku seakan dapat merasakan kenestapaannya. Aku ingin menyembuhkannya.
*
            Aku heran melihat gadis yang begitu tegar ini. Tiap siang ia selalu datang ke hadapanku dan duduk di bawah keteduhanku yang makin hari makin sirna. Aku tahu gadis ini adalah seorang pemulung. Mungkin bagi orang-orang yang melihatnya, dia adalah anak kampungan yang bermasa depan suram. Dan kemungkinan sinting karena berbicara dengan pohon. Namun, aku bisa mengetahui di balik mata ketulusannya itu ada sepucuk tunas mungil yang tumbuh di dalam hatinya.
Siang ini, dia kembali bercerita kepadaku tentang teman-temannya, adiknya, dan teman-temanku yang makin sedikit. Kepalanya menengadah menatap tangan-tanganku yang nelangsa. “Kau lihat sungai itu, Sobat? Sampai kapan wajahnya dikotori sampah-sampah tanpa ada yang membersihkannya? Sungguh aku bingung. Siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua ulah manusia?” Kuperhatikan air muka geramnya. Air mata menggenangi pelupuk matanya. Sungai mengalir di pipinya dan bermuara di leher. Kurasakan empatinya. Aku merasa kasihan pada nasib teman-temanku yang makin lama kuantitasnya berkurang. Mungkinkah aku akan bernasib sama dengan mereka? Aku hanya bisa berdoa, “Tuhan, aku tahu aku hanya sebatang pohon renta yang sakit-sakitan. Tapi aku tetap mengharapkan tangan-tangan bijaksanamu untuk memberikan wewenang kepada gadis ini menjadi penyelamat kami yang akan menyadarkan semua orang betapa dibutuhkannya peranan kami dalam ekosistem” Kusisipkan doaku kepada seekor murai yang bertengger di pundakku dan menyebarkan doaku kepada kawan-kawan.
Gadis ini juga melantunkan puisi untuk menyemangatiku. Begitu merdu dan indah sampai aku mengira itu suara seorang penyanyi terkenal. Aku terbawa arus.
*
            Perasaanku begitu berkecamuk dalam perjalanan pulang ke gubukku. Aku dongkol kepada Adit, teman sekelasku, yang menista orangtuaku. Perasaan gundah juga menyulut hatiku. Pohon mahoni, satu-satunya temanku selama ini, makin hari makin buruk keadaannya. Aku juga naik darah kepada pemkot yang terus-menerus memperlebar jalan hanya untuk menanggulangi masalah kemacetan. Mereka juga tak pernah menyiram pohon-pohon di jalur hijau dan taman kota. Tak sadarkah mereka betapa dibutuhkannya pohon-pohon bagi bumi? Tak tahukah mereka pohon juga makhluk ciptaan Tuhan, sama seperti mereka? Alpakah mereka bahwa mereka sebenarnya juga membutuhkan molekul-molekul oksigen?
            Aku ingin menyelamatkan bumi, walau hanya dengan tangan-tangan mungilku. Aku ingin menyelamatkan sahabatku berikut kawan-kawannya.
Namun, bagaimana caraku memulainya? Aku berlari sepanjang perjalanan dengan tangan kanan memanggul karung berisi penuh sampah, dan tangan kiri menggenggam pengait. Tak kupedulikan suara-suara heran dan ledek-meledek. Kutumpahkan sampah-sampah yang berhasil kupungut. Kuaduk mereka untuk mencari sesuatu yang dapat berarti untuk misi penyelamatanku. Lalat-lalat sebesar kedelai beterbangan. Ketika aku menggenggam bonggol jagung yang mulai membusuk, sebuah ide terlintas dalam benakku.
*
            Aku merasa kian rapuh. Semilir angin menghembus lembut daun-daunku yang menguning. Hanya sedikit daun hijau pada diriku. Itupun hijau pucat. Aku beretiolasi. Aku terus mengulang doaku siang tadi. Kutitipkan doaku pada angin malam, bintang, peri tidur, kunang-kunang, dan keheningan malam. Sebagian jiwaku lara dan sebagiannya lagi penuh pengharapan. Aku berusaha melupakan perasaanku yang sendu. Raut wajah gadis itu terlukis dalam sanubariku sepanjang malam. Kututup mataku. Sebuah memori terlintas dalam benakku. Aku melihat diriku yang muda. Hijau dan gagah. Gadis itu bermain kejar-kejaran bersama adiknya. Ia tersandung akarku. Adiknya sudah berlalu sambil tertawa-tawa. Tak disadarinya bahwa kakaknya terluka. Gadis ini terisak-isak. Tidak ada yang mendengar suaranya memanggil adiknya. Lehernya tercekat. Ia kemudian bersandar ke tubuhku pasrah lalu tertidur. Diam-diam aku memanggil peri pohon untuk mengobati lukanya dan memanipulasi ingatannya. Ketika dia terbangun, ia sudah tidak ingat lagi akan kejadian sebelum ia tertidur. Tapi dia memiliki perasaan kuat denganku. Sejak itu ia sering kemari. Aku tersenyum mengingat momentum itu. Aku seakan merasakan ada tangan-tangan Tuhan yang sedang bekerja. Kulantunkan puisi yang tadi kudengar yang hanya didengar oleh seekor burung hantu hitam.
*
            Aku bangun lebih pagi dari biasanya, walaupun aku tak bisa tidur nyenyak semalam dan terlalu letih. Adikku terduduk di sebelahku sambil menggosok matanya. Ada semangat baru yang bergejolak melalui setiap sel darah dalam tubuhku. Nadiku berdenyut penuh gelora. Adikku menoleh, “Jadi kan, Kak?” Aku hanya tersenyum simpul dan bergegas keluar kamar. Untunglah adikku juga mendukung misiku walaupun sepertinya ia tak begitu yakin. Aku menatap ke luar jendela yang masih gelap. Aku seakan melihat titik cahaya kecil bermil-mil jauhnya dari tempatku. Kumulai hari ini dengan serumpun cinta.
*
            Aku terkejut melihat dua gadis menghampiriku. Sahabatku dan adiknya. Tapi, aku juga melihat seorang pemuda berjalan di belakang mereka di antara semak belukar. Itu tak penting. Aku sudah sering melihatnya setiap pagi. Mereka berdua sama-sama menenteng dua
tas plastik. Kelihatannya berat. Aku berusaha menebak-nebak apa kiranya yang dibawa dan apa yang akan mereka lakukan. Sahabatku mengeluarkan sebotol cairan kuning. Ia menatapku penuh arti seraya berkata, ”Ini adalah langkah pertamaku, Sobat. Aku tak tega melihat engkau dan kawan-kawanmu menderita. Jadi aku dan adikku membuatkan vitamin untukmu. Semoga dengan ini kalian cepat pulih” Lalu ia tumpahkan sedikit demi sedikit pupuk cair itu. Aku dengan cepat mengisapnya melalui bulu-bulu akarku. Rasanya nikmat dan aku merasa kesehatanku mulai pulih. “Tuhan, aku sampaikan rasa terima kasihku karena Engkau telah mengabulkan doaku. Berkatilah gadis ini. Muluskanlah setiap langkah aksi penyelamatannya”
*
            Aku berolahraga setiap bagi di taman kota sebelum berangkat kerja. Aku turut prihatin melihat kebijakan pemkot yang semena-mena terhadap pohon-pohon di kota. Taman kota yang dulunya hijau dan indah, sekarang gersang dan suram. Aku sering mengadakan protes melalui tulisanku. Sayangnya, tidak ada yang hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti untuk menyelamatkannya.
            Pagi ini taman sepi. Hanya ada aku dan seorang tukang sampah. Tiba-tiba, aku melihat dua gadis dengan seragam putih biru lusuh memanggul tas sekolah usang dan menjinjing tas plastik yang penuh entah dengan apa. Aku merasakan gelora semangat mereka menyeruak melewati udara pagi. Aku mengikuti mereka diam-diam. Aku melihat mereka berhenti di bawah sebatang pohon mahoni. Aku tercengang mendengar perkataan gadis yang paling tua, ”Ini adalah langkah pertamaku, Sobat. Aku tak tega melihat engkau dan kawan-kawanmu menderita. Jadi aku dan adikku membuatkan vitamin untukmu. Semoga dengan ini kalian cepat sembuh”    Aku melihat gadis itu menuangkan cairan kuning itu yang kupahami sebagai pupuk yang diolah dari sampah organik. Mereka berlalu dan menghilang di balik tikungan jalan. Aku mengerling ke pohon itu. “Kau beruntung memiliki sahabat yang sangat peduli padamu” Aku berlalu dengan senyuman merekah. Siapa sangka seorang gadis lusuh sangat peduli dengan lingkungannya? Sementara banyak orang berpenampilan mewah, berpendidikan, tapi semena-mena. Mereka membersihkan rumahnya dengan sangat cermat dan menenteng sampah dan membuangnya sembarangan di sungai, di bawah pohon, dan berperilaku jorok. Kapan mereka akan sadar?
*
            Aku tak hentinya melakukan penghijauan. Aku sering menanam biji-biji yang kudapatkan dari buah busuk yang kupulung. Aku tidak hanya menanamnya di rumah, tapi juga di dekat sahabatku agar dia tidak kesepian. Setiap pagi, aku dan adikku menyiram mereka atau memberi pupuk. Kami selalu melakukannya pada pagi hari sebelum taman kota ramai. Hanya ada tukang sampah dan satu atau dua orang yang berolahraga. Tiap sepulang dari memulung, aku selalu membuat pupuk cair bersama adikku, Leni. Sebagian kami jual kepada kios Bu Ani. Sebagiannya kami simpan untuk persediaan. Uang penghasilan dari menjual pupuk kami berikan kepada ayah dan bunda. Mereka sangat bangga kepada kami. Mereka selalu berpesan kepada kami untuk gigih menggapai cita-cita dan menyelamatkan bumi kita yang makin hilang rona hijaunya. “Terus berkarya dan gigih berkerja, Nak. Jangan pula lupakan sekolah kalian. Ayah selalu mendukung kalian”, pesan ayah. Bunda juga mendoakan, “Semoga kalian bertumbuh menjadi anak-anak yang berguna bagi bangsa dan negara. Kembalikan lagi semburat warna hijau bumi kita”
            Ayah tak jarang membantu kami membantu membuat pupuk bila ada waktu senggang. Bunda juga makin rajin membesarkan pohon-pohon yang aku dan Leni tanam untuknya. Tidak hanya pupuk yang kami buat. Aku membuat bunga dari kapas popok yang dikeringkan. Aku pernah membacanya di koran yang telah dibuang di tempat sampah. Leni juga rajin membuat mainan dari kaleng-kaleng minuman bekas. Kami pun menjualnya di toko mainan. Sampah-sampah itu menjadi rupiah.
*
            Aku turut bersuka cita untuk sabahatku yang makin akrab dengan alam. Sekarang, aku sering melihatnya memulung sampah bersama adiknya di sekitar sungai yang melewati kota ini. Perlahan tapi pasti, kecantikan sungai ini kembali menyeruak. Sebelumnya, memang warga yang tinggal di sekitar sungai itu mencibirnya. Namun, perlahan mereka mulai sadar. Siang ini, aku melihat mereka membantu sababatku membersihkan sungai itu. Sungai itu begitu gembira. Suara percikan airnya begitu menggelitik telinga. Aku dan kawan-kawanku histeris melihat kecantikan sungai itu. Airnya yang sekarang perlahan jernih memantulkan semburat sinar matahari jingga yang sangat cantik. Aku melihat sunggingan senyum gadis itu menghiasi binar wajahnya.
Aku sendiri merasa kesehatanku mulai pulih karena dirawat secara rutin oleh sahabatku. Dari ujung-ujung jemariku tumbuh sepucuk daun harapan. Aku selalu mengucapkan syukurku kepada Yang Maha Kuasa. “Tuhan, aku tahu Kau selalu memberkati anak-anak yang peduli kepada sesama makhluk ciptaanmu. Berkatilah dia seperti yang telah diimpikannya”
Sungai itu tak hentinya berceloteh tentang kegembiraannya dan kecantikannya yang sempat lenyap. Ia tak lupa bersyukur kepada Tuhan. Aku juga menitipkan rasa terima kasihku kepada kawan-kawanku yang telah bersama-sama mendoakan sahabatku itu melalui murai-murai.
*
            Kulangkahkan kakiku ke sungai. Beriak airnya memantulkan sinar mentari yang baru saja terbit. Kurasakan baluran cinta udara pagi menyejukkanku dan mendorongku untuk terus melangkah ke tempat tujuanku. Ia bukan sungai nestapa yang dahulu. Dia bak kekasihku.
            Aku telah tiba ke tempat tujuanku. Kusapa gadis yang kira-kira sebaya denganku, “Selamat pagi, Ana. Hari yang cerah, ya” Dia tersenyum lebar ketika melihatku. Ia langsung berlari menghampiriku. “Selamat pagi juga, Sobat. Ada apa gerangan engkau datang pagi-pagi begini?”, sahutnya. Aku merangkulnya dan merogoh sebuah kantong dari karung goni yang diikat dengan rafia merah. “Aku ingin kalian menanamnya. Jika mereka sudah bertambah dewasa, mereka akan menambah kecantikan sungai ini dan memberikan keteduhan untuk kalian. Dikau bisa melihat pohon mahoni yang di sebelah sana itu? Ya, yang itu. Dia adalah sahabatku. Aku sering curhat kepadanya. Aku senang dia mulai sehat sekarang”
            Sambil mengucapkan terima kasih, teman baruku itu berlari ke rumahnya sedangkan aku menapaki jalan yang beraspal melintasi jembatan. Aku melongok ke bawah dan kulihat sungai itu tersenyum penuh terima kasih yang terbentuk dari gelombang airnya yang berkilau memantulkan sinar mentari.
*
            Aku hanya bisa berdecak kagum dengan pionir hijau cilik ini. Ia sering menanyakan kabarku. Dia terus bercerita tentang aksi penyelamatannya dan sering mengonfirmasi tempat mana lagi yang harus ia selamatkan. Setiap malam aku selalu menitipkan jawabanku kepada peri tidur agar memberitahunya melalui bunga tidur. Terus-menerus kulukiskan paras wajahnya yang manis dalam sanubariku. Tiap pagi dia selalu menyapa dan menanyakan keadaanku. Tak lupa dia menghaturkan rasa terima kasih atas nasihatku.
            Sekarang banyak serangga yang bermain-main di taman ini. Makin banyak spesies murai yang bernyanyi bagaikan konser alam gratis. Aku sering melantunkan puisi yang nantinya dibawa angin. Sore ini, seperti biasa, dia datang menghampiriku dengan membawa karung sampah seperti dan menyandang ransel dipunggungnya. Dia memelukku erat seraya menyapaku. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku pelan karena gemas. Dikeluarkannya sebuah botol dari ranselnya. Dituangkannya ke tanah yang dengan cepat aku isap. Dia mengelusku penuh sayang dan duduk di sisiku sambil mengerjakan tugas sekolahnya. Kulindungi dia dari sinar ultraviolet dengan daun-daunku yang hijau dan lebat. Seekor kupu-kupu putih bersayap lebar hinggap di rambutnya seperti sebuah jepitan rambut. Ia tampak cantik dengan kupu-kupu itu walaupun dengan seragam lusuhnya.
*
            Kubawa kakiku menuju gubuk reyotku. Aku tumpahkan sampah-sampah yang siang tadi aku pungut. Aku tersenyum memandang sampah-sampah ini. “Tuhan, aku sangat berterima kasih kepadamu karena telah memuluskan misiku. Lindungilah ciptaanmu dan sadarkan mereka yang masih belum saling mencintai sesama makhluk-Mu”
            Tiba-tiba pintu dapur menjeblak terbuka. Adikku datang sambil besorak gembira seperti kesetanan. “Ada apa denganmu, Leni? Hei, jangan tertawa terus! Ada apa sih?” Kuguncang tubuhnya keras-keras. “Kakakku hebat! Kakak berhasil! Kakak Sang Pionir!”, soraknya. Aku masih tidak mengerti. Tiba-tiba aku melihat ayah dan bunda juga berlari menghampiriku. Mereka memelukku dengan erat. Bunda menangis terharu. Ini membuatku makin bingung. “A.. A.. Ada ap..pa inii?”, tanyaku terbata-bata. Bunda mengelus pundakku. Bunda mulai berbicara, “Tuhan telah memberkatimu, Nak. Ada seorang wartawan surat kabar kemari dan memberikan penghargaan kepadamu atas semua misi penyelamatanmu. Kamu akan masuk koran, Nak! Selain itu perusahaannya memberikan beasiswa untukmu hingga lulus kuliah dan memberimu uang saku tiap bulannya. Bunda sangat bangga kepadamu, Nak”, Bunda memelukku erat dalam isakan tangis harunya. “Rumah kita juga akan direnovasi. Mereka akan menyediakan tempat khusus untuk kita sebagai tempat mengolah sampah. Mereka juga terinspirasi untuk menanam pohon di sekitar tempat kerja mereka. Pria itu sedang memproses pengaduan kepada pemkot agar tidak terus menerus memperlebar jalan dan menceritakan kegigihanmu”, tutur adikku penuh semangat. “Kamu memang dutanya alam. Ayah bangga padamu! Kau Sang Pionir Hijau!”, sahut ayah sambil menepuk bahuku terlalu keras. Sebuah sungai mengalir di pipiku yang memerah. “Di mana orang itu?” Dan seketika aku terkesiap melihat seorang pria berdiri di depan pintu dapur sambil bersandar di kusen pintu. Ia tersenyum ramah kepadaku. Ia hanya mengatakan, “Selamat, Raisa. Kau adalah inspirasi kami”. Tak salah lagi. Dia orang yang sering kulihat di taman kota belakangan ini. Aku menengadah ke langit. “Tuhan, terima kasih atas semua berkah yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-Mu ini. Aku akan terus berjuang untuk menyelamatkan planet biru ini. Berikan aku kegigihan dan kerendahan hati untuk menjalankan misi yang telah kau titipkan kepadaku. Semoga dengan ini semua orang sadar, betapa mereka membutuhkan bumi ini” Aku menoleh ke pria itu dan mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
*
            Angin malam menghembus melalui daun-daunku. Burung-burung berhenti berkicau yang diganti dengan hewan nokturnal. Seekor burung hantu bertengger di lenganku sambil beruhu panjang. Namun, tiba-tiba terdiam seakan mendengarkan sesuatu. Tiba-tiba dia menukik dan menghujam seekor tikus yang mencicit tak berdaya. Tiga ekor kelelawar beterbangan di taman. Laron-laron mengitari lampu-lampu taman. Seekor kucing mendengkur di bawah kursi taman. Pohon-pohon mungil yang ditanam sahabatku sudah tidur pulas. Titik-titik air mulai turun ke bumi secara perlahan yang sedingin es. Tiba-tiba aku merasakan gerakan di dekatku. Aku langsung waspada. Oh, tenyata hanya gadis sahabatku. Tapi apa yang diperbuatnya malam-malam begini? Semua hewan dan tumbuhan berpaling kepadanya. Ia menghampiriku. Wajahnya sembab. Air matanya memantulkan cahaya bulan yang keperak-perakan. Bahkan sungai pun menyadari kehadirannya.
            Makin lama langkahnya makin cepat. Ia berlari meghampiriku. Memelukku dengan erat sementara hujan semakin lebat. Dia mengisahkan kejadian tadi sore dengan bersemangat. “Aku sangat beruntung bisa mengenalmu. Aku tahu engkau selalu mendoakanku dan memberiku nasihat melalui mimpi-mimpiku. Terima kasih atas segalanya, pohonku. Aku tak akan mungkin bisa seperti ini tanpa butiran kata-kata doamu. Aku selalu berterima kasih kepada Tuhan, walaupun aku tidak punya teman di sekolah, tapi aku mempunyai teman yang sangat setia. Aku tak peduli jika kau hanya sebatang pohon tua”, isaknya. Ia makin mendekapku dengan erat. Bajunya basah kuyup dan badannya menggigil kedinginan. Tanpa yang ia duga, aku balas memeluknya dengan tangan-tangan besarku. Ia sangat terperanjat. Namun, ia mendekapku makin erat. Lama kami berpelukan sementara hujan mulai berhenti dan bintang-bintang kembali muncul. “Aku juga beruntung mempunyai teman sepertimu. Aku yakin dengan ketegaranmu dikau dapat melindungi bumi dengan sentuhan tangan mungilmu. Bagiku, engkau adalah patriot hijau”, bisikku.
*
            Sinar rembulan menyinari pemakaman dengan sinar keperakannya. Wanita tua itu masih duduk di samping makam ibunya sambil mengelus-elus batu nisan. “Engkau telah berhasil menyelesaikan misi yang diberikan-Nya. Bahkan walikota tersentuh dengan aksimu. Ia makin rajin menanam pohon. Sementara Bunda berbaring dengan tenang di sisi-Nya, taman kota itu menjadi taman percontohan. Indah sekali. Berbagai spesies bunga dan warna ditanam di sana. Kupu-kupu leluasa mengisap nektar. Kunang-kunang berpendar indah di malam hari. Berbagai hewan malam berkeliaran dengan damai. Setiap hari taman itu ramai dengan turis, baik turis lokal maupun turis mancanegara. Sebuah monumen dibangun dekat pohon mahoni itu untuk memperingati jasamu. PBB memberikan penghargaan kepada kota kita sebagai kota hijau. Walikota merasa tak pantas untuk menerimanya. Akhirnya akulah yang menerima penghargaan itu untuk mewakili Bunda”, gumamnya. Tanpa disadarinya bulir-bulir air mata membasahi wajah keriputnya. “Mimpimu tak pernah tandas walaupun Bunda merasa tertekan dengan caci maki. Semoga generasi mendatang senantisa meneladanimu”
Setelah sekian lama, ia berdiri. “Beristirahatlah dalam damai, Bunda. Semoga engkau bahagia di alam-Nya”, kata wanita itu dan berlalu meninggalkannya. Aku pun merasa tersentuh dan kembali ke pohon tempat tinggalku tanpa suara. Angin bertiup tenang dan sejuk. Aku merasakan pemakaman itu penuh dengan kisah inspirasi. Sementara wanita tua itu berlalu, aku melihat seorang wanita cantik dengan gaun hijau panjang yang indah sekali. Mahkota bunga menghiasi kepalanya. Senyumnya mengikuti kepergian wanita itu hingga menghilang di tikungan jalan. Diakah Dewi kahyangan kami yang sudah kukenal sejak lampau?
            Bulir air  memantulkan nuansa hijau
            Kureguk dengan tangan mungil penuh nikmat
            Meninggalkan bayangan sesepuh di berkas delta
            Sekutu kupu-kupu putih menjelajahi tubuh renta
Menyisakan sebaris nama kenangan

Dari sekawanan waktu ke waktu

Sabtu, 05 April 2014

PENYEBAB RAMBUT MERINDING

Sering kali saat kita sedang menonton film horor atau menyaksikan suatu drama tragedi rambut (yang sering disalahartikan sebagai bulu) kita merinding. Apakah penyebabnya?

Rambut (bukan bulu) yang berdiri atau 'merinding' bisa terjadi pada manusia dan kebanyakan mamalia sebagai akibat terjadinya kontraksi pada otot erektor kecil yang terdapat di dalam kulit. Adanya kontraksi otot tersebut bisa ditandai dengan gundukan di sekitar tempat tumbuhnya rambut. Beberapa reaksi emosional (seperti rasa takut, rasa kagum saat sedang menikmati suatu karya seni atau mendengar musik) juga bisa menyebabkan merinding. Saat dalam suatu situasi tertentu (dingin, takut, kagum dsb) tubuh akan menghasilkan hormon stres yang disebut adrenalin. Adrenalin akan memicu peningkatan darah yang dipompakan ke dalam otot sehingga menyebabkan merinding.