Rabu, 23 April 2014

Cerpen: Seuntai Doa, Secangkir Harapan

Aku duduk di dahan pohon rambutan di pekarangan rumahku. Kugoreskan pensil di atas kertas putih yang lusuh. Kemudian aku menatap ke dahan di sebelah kananku. Aku melihat bayi-bayi burung di sebuah sarang. Kemudian kupalingkan muka ke kertas lagi. Kembali kugoreskan pensil. Saat sedang asyiknya, tiba-tiba ada suara yang memanggilku, “Anne, di mana kau?”
Itu suara kakakku. “Aku di pohon”, sahutku. Kudengar langkah kakakku bergegas kemari. “Sedang apa kau di sana?”, tanya kakakku dari bawah. “Cuma sedang menggambar burung”, jawabku dengan santai. “Tunggu! Aku mau lihat,” seru kakakku sambil memanjat dengan cekatan. “Wah, lucunya! Bagaimana kamu bisa menemukannya?”, tanya kakakku sesampai di atas. “Secara kebetulan saja. Aku sedang menyapu, tiba-tiba kudengar suara burung berkicau. Lalu aku memanjat pohon ini. Aku melihat ada induk burung ini. Sejak itu aku sering ke sini. Pagi itu, aku melihat si betina sedang mengerami telurnya. Aku senang sekali waktu itu. Makin rajin aku datang ke sini. Tadi pagi kulihat anak-anaknya sudah menetas. Lalu muncul ide untuk menggambar mereka”, jawabku sambil terus menggoreskan pensil. Kakakku menatap bayi-bayi burung itu. “Mengapa kamu tak pernah cerita? Kamu kan tahu aku senang pada satwa.”
“Yah, waktu itu aku takut burung-burung ini merasa terganggu. Maaf, deh. Lain kali aku akan cerita”, kataku sambil memandang kakakku yang jangkung itu. Kakak hanya tersenyum. Dia melirik gambarku. “Mirip sekali gambarmu dengan mereka. Aku heran mengapa teman-temanmu selalu mencemooh gambarmu?” Aku menghela nafas panjang, lalu melanjutkan gambarku. “Mereka menganggap orang tak mampu seperti kita tak pantas dihargai. Kakak kan tahu sendiri. Tapi untungnya guru-guru di sekolah selalu membesarkan hatiku. Tapi tetap saja tidak enak berada di kelas yang tidak ramah. Mungkin gambarku memang jelek!”
Kakak merangkul bahuku. “Sudahlah, dik. Tuhan sedang menunjukkan jalan yang terang buatmu. Buktinya kamu bisa dapat beasiswa  dari sanggar seni milik Om Nyoman. Padahal kamu hanya sedang melukis di taman kota yang tidak tahu ternyata sedang berlangsung lomba lukis, lalu Om Nyoman tak sengaja melihat gambarmu dan bercerita ke yang lain. Beberapa hari kemudian Om Nyoman datang dan mengatakan akan memberikanmu beasiswa untuk bersekolah di sekolah terbaik di kota ini. Kau beruntung sekali mempunyai talenta yang hebat!” Kakak menggenggam tanganku. “Jangan cemas. Kami akan selalu mendukungmu.” Aku hanya tersipu.
“Itu suara Ibu memanggil kita. Yuk!” ajak Kak Andi. “Kami datang, Bu!”, seru Kak Andi. “Kemana saja kalian?”, tanya ibu. “Om Nyoman sudah menunggu kalian sejak tadi.” Aku terperanjat. Aku langsung menemui laki-laki yang duduk di kursi rotan itu. “Sore, Om”, ucapku seraya menyalami Om Nyoman. “Halo, Anne. Di mana kakakmu? Oh, itu dia. Bagaimana kabar kalian di sekolah?” “Nilaiku lumayan. Tapi teman-teman masih menjauhiku.” Aku menyeletuk.
“Kamu tidak boleh menyerah! Mungkin mereka hanya iri saja. Kamu jangan pernah berhenti menggambar. Saya yakin kelak kamu akan menjadi pelukis ternama!” kata Om Nyoman. “Mmm... Om memangnya ada perlu apa kemari?” tanya Kak Andi. Om tersenyum, “Om ke sini untuk mengabarkan ada Lomba Lukis Remaja Berbakat Nasional atau biasa disingkat L2BHN. Jika kamu bisa lolos di tingkat kecamatan, kota, dan provinsi, kamu akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia. Di sana kamu diadu lagi dengan peserta lain. Menurut Om, gambarmu itu sudah tidak hanya layak untuk diikutkankan lomba tetapi memiliki nilai seni yang tinggi. Tapi, jika Anne mau menambah pengalaman, mencari teman baru, dan melihat kemampuan anak-anak lain, tak ada salahnya mengikutinya,” jelas Om Nyoman dengan penuh senyum.
“E, e, e, Om. Aku tidak punya alat mewarnai yang memadai. Krayonku sudah pendek-pendek. Kertas yang kupakai biasanya kertas bekas. Pasti kalah dengan anak-anak yang alat-alatnnya mahal! Aku tidak yakin bisa menjadi juara”, kataku setelah beberapa saat sambil terbata-bata. Ibu menghampiriku dan mengelus rambutku. “Nak, jika kamu ingin ikut, ibu akan mendukungmu sepenuhnya.” Kak Andi menyeletuk, “kalah dan menang itu tak masalah. Lagi pula, itu tidak akan menghilangkan talentamu. Tidak semua orang bisa menggambar sepertimu, lho! Maksudku mau menggambar kucing, eh, jadi lebih mirip sapi!” Semua yang ada di ruangan ini tertawa mendengar leluconnya.
“Pokoknya ibu berusaha sekuat-kuatnya agar kamu bisa berhasil,” kata ibu sambil menggenggam tanganku. “Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tidak tega melihat ibu membanting tulang hingga tengah malam untuk membelikanku alat-alat lukis.” Aku sudah hampir menangis saja melihat ibuku yang lembut hati. Bagaimana jika aku kalah? Kasihan ibu sudah bekerja keras, tapi hasilnya nanti tidak ada.
“Ibu kan sudah tidak perlu lagi membiayaimu sekolah. Selalu saja ada sisa dari pendapatan ibu. Pokoknya biar kalah ibu tetap bersyukur karena memiliki anak yang hebat!” jawab ibuku tersenyum. “Om, juga akan membimbingmu.” ujar  Om Nyoman sambil tersenyum. “Kakak juga akan membantu dengan uang tabungan kakak. Ini kesempatan yang baik buatmu. Kami semua selalu mendukungmu. Kakak yakin suatu hari nanti kamu pasti berhasil.”
Aku terharu mendengarnya, “Terima kasih semuanya. Aku akan berusaha semampuku”, tekadku. “Nanti Om daftarkan kamu. Mulai besok jam tiga tepat Om akan datang untuk melatihmu.”
Malam ini aku susah tidur. Perasaan senang bercampur bingung. Senang karena bisa diajari melukis oleh Om Nyoman, tapi juga bingung karena ibu harus membanting tulang lebih keras lagi untuk membelikanku alat-alat. Aku bisa mendengar suara mesin jahit dari ruang duduk. Entah sampa kapan ibu begini. Aku bertekad suatu hari nanti aku akan membahagiakan ibu. Aku berdoa, “Tuhan, muluskanlah jalanku. Bawalah aku dengan tangan-tangan sucimu sehingga aku bisa berhasil.”
Aku selalu bangun mendahului matahari. Pergi sekolah sendiri. Setelah itu, pulang sekolah segera berganti pakaian dan makan siang. Pekerjaan rutin ibu kuambil alih. Menyapu, mencuci piring, menyikat baju dan menjemurnya, serta memberi makan ayam. Aku berangkat bersama Kak Andi untuk mengantarkan pakaian pesanan yang dijahit ibu. Jika kebetulan bertemu dengan teman di jalan aku dan Kak Andi sering diejek, tapi tak pernah kami acuhkan.
Setiap sore Om Nyoman datang untuk mengajariku. Makin hari aku terus memiliki kemajuan. Dia memberiku krayon baru. Tidak cuma itu saja. Dia juga memberiku cat, kuas, dan palet. Aku senang. Aku bertekad akan membalas budinya kelak.
Lomba semakin dekat. Sesekali aku latihan hingga tengah malam. Ibu selalu menemaniku sambil menjahit. Kasihan ibu. Dia kurang istirahat.
Saatnya lomba. Pertama, aku harus mengikuti seleksi kecamatan dan di tingkat kota. Aku selalu mendapat peringkat teratas. Ibu tak pernah absen mendampingiku setiap seleksinya. Hingga akhirnya seleksi provinsi yang menentukan siapa yang akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia. Hatiku berdebar-debar. Tapi perasaan itu tidak mengganggu konsentrasiku. Ibu duduk di kursi yang disediakan panitia. Waktu selesai. Aku telah menyelesaikan lukisanku yang bertema Budaya Indonesia itu. Pengumuman pemenang akan diberitahukan minggu depan.
Esoknya aku masih melukis. Aku berharap aku bisa menang untuk membanggakan ibu dan kakak. Tapi pengumuman yang dijanjikan tak kunjung tiba. Padahal sudah lewat dua minggu. Aku duduk di atas pohon sambil memperhatikan burung-burung yang pernah kugambar. Anak-anak itu bertambah besar. Mungkin sebentar lagi akan belajar terbang. Sekonyong-konyong dari bawah terdengar suara kakak memanggilku. “Dik, ada kabar dari Om Nyoman tadi!” Dengan cekatan aku turun dari atas pohon.
“Ada apa? Mana Om?”, tanyaku. “Tadi Om Nyoman kemari membawa kabar saat kakak sedang membuang sampah, tapi cepat-cepat pergi. Katanya dia mau bertemu seseorang. Dia juga bilang tidak bisa mengajarimu nanti”, jawab Kak Andi. “Selamat, Anne. Kamu juara 1! Kamu akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia.”
Aku hanya terpaku di tempat seperti orang tolol. Tiba-tiba aku melonjak-lonjak seperti orang gila. Aku tidak bisa menahan kegembiraanku. Setelah reda barulah aku bisa berbicara. “Benarkah itu? Dari mana Om tahu? Aduh, seperti sedang mimpi saja. Kamu tidak sedang mempermainkanku kan? Jika ternyata begitu akan kusiram dengan air!”
Kak Andi tertawa cekikikan melihat tingkahku. “Tentu saja aku serius! Kau pikir aku ini apa? Katanya, Om dengar dari temannya. Semua orang juga sudah tahu. Hanya saja pengumuman resminya belum keluar.”
Malam ini aku tidur nyenyak. Aku bermimpi pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia dengan pesawat terbang. Keesokan paginya, saat di sekolah, guru-guru mengucapkan selamat padaku, bahkan teman-temanku yang biasanya menjauhiku lain sekali sikapnya. Mereka lebih ramah terhadapku. Mereka tidak lagi mengejekku ataupun mencemooh gambarku. Segala pandangan mereka padaku berubah.
Dua minggu kemudian, saat aku masih belajar di kelas, tiba-tiba ibu guru memanggilku. Katanya, aku dipanggil kepala sekolah. Aku berjalan ke ruang kepala sekolah dengan gelisah. Perasaanku tidak enak. Ada apa ini? Tiba-tiba aku menggigil.
Saat masuk aku disambut dengan ramah oleh kepala sekolah. “Nah, Anne! Tentu kamu sudah tahu bahwa ada kabar yang mengatakan bahwa kamu juara 1 kan?”, katanya sambil tersenyum dengan sinar mata aneh. Aku menggigit bibirku sambil mengangguk pelan. “Nah, kabar itu memang benar. Ini baru saja suratnya sampai. Kalau tidak percaya kamu bisa membacanya”, katanya sambil menyodorkanku secarik kertas. Aku membaca surat itu. Di situ tertulis bahwa aku mendapat juara 1 L2BHN tingkat provinsi, tapi tidak ada keterangan bahwa aku akan dikirim ke Istana Pelukis Cilik Indonesia.
“Apakah aku akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia?”, tanyaku. Tiba-tiba kulihat raut wajah beliau yang tadinya riang menjadi suram. “Maaf, Nak. Saya tadi menanyakan ke dinas apakah benar dengan begitu kamu pergi ke sana. Ternyata tidak. Yang pergi hanya juara dua. Katanya ingin memberi kesempatan kepada anak yang lebih besar karena kamu dianggap masih terlalu kecil untuk ke sana. Bapak sudah berusaha agar keputusan itu diubah, tapi ternyata anak itu sudah berangkat dua hari yang lalu.”
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat di rongga mataku. Aku menangis tersedu-sedu di ruang kepala sekolah. Tak dapat lagi kubendung air mataku yang telah meleleh membasahi muka. Bu guru yang tadi memanggilku menghiburku. Ia merangkul dan mengajakku keluar. Aku masih menangis sampai mataku merah. “Jangan kecil hati. Kamu harus kuat. Lain kali bisa dicoba lagi”, kata bu guru dengan lembut. Aku masih menangis sampai di kelas. Temanku mengelelingiku. Mereka menghibur dan membesarkan hatiku. Tapi tetap saja tidak bisa menghibur hatiku yang lara. Sia-sia semua usahaku. Perasaanku saat ini kacau. Hatiku serasa ditikam-tikam pisau. Mengapa nasib begini kejam? Kalau ternyata kabar itu salah itu tak masalah bagiku. Tapi ini sudah jelas-jelas aku juara satu mengapa juara dua yang pergi? Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres. “Tabahkanlah aku, Tuhan..”
Saat berjalan pulang ke rumah aku masih terisak. Di tengah jalan aku bertemu dengan Kak Andi yang juga sedang berjalan pulang. “Lho, mengapa kamu menangis, dik? Ada yang mengganggumu?”, tanya Kak Andi prihatin. Lalu aku menceritakannya sambil berjalan. “Entah jika tahun depan aku ikut lagi apa yang akan dikatakan lagi supaya aku tidak ke sana. Pokoknya aku mau berhenti ikut lomba!”, tukasku. Kak Andi kaget mendengar kata-kataku. “Kau jangan seperti itu. Kalah menang sama saja. Lagi pula..” Belum selesai dia bicara aku langsung menjerit, “Pokoknya tidak ada yang bisa menghentikan tekadku!” Aku langsung lari masuk ke rumah. Semua orang memandang kami dengan heran. Kak Andi mengejarku. Aku lari masuk ke kamar dan menguncinya. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku menangis terisak-isak sampai bantalku basah. Terdengar suara Kak Andi masuk ke rumah dan bergegas ke kamarku. Dia mengetuk pintu, “Dik, buka pintunya.” Tapi aku hanya diam saja. Dari balik pintu terdengar suaranya menghela napas panjang. Aku masih terisak.
Lima belas menit kemudian ada suara orang mengetuk pintu. “Nak, ayo makan. Makanan sudah siap.” Itu suara ibu. “Aku masih kenyang”, jawabku sambil terisak. “Bukalah pintumu, Nak”, ujar ibu dari balik pintu. Tapi aku diam saja. Terdengar suara ibu menghela napas panjang dan melangkah pergi. Aku merenungi nasibku. Aku berjalan menuju jendela. Kulihat pohon tempat biasanya aku memperhatikan burung. Timbul niatku untuk keluar dan pergi ke atas pohon.
Aku membuka jendela kamar lalu meloncat ke tanah. Aku berjalan mengendap-endap ke pohon lalu memanjatnya. Aku melihat bayi-bayi burung itu berciap-ciap memanggil induk mereka. Lama sekali aku berada di atas pohon. Sampai aku melihat seorang pengendara sepeda motor berhenti di depan rumah. Itu Om Nyoman! Kuperhatikan dia berjalan masuk ke pekarangan. Lalu mengetuk pintu depan. Terlihat kakak membukakan pintu lalu mengajaknya masuk. Mungkin setelah ini mereka akan mencariku. Kakak pasti tahu di mana seharusnya mencariku jika aku tidak ada di kamar. Aku bergegas masuk ke kamar melalui jendela, lalu menutupnya. Aku juga menarik gorden menutupi jendela. Tepat saat itu aku mendengar suara bercakap-cakap di luar.
“Aku menyesal memberi tahu kabar itu, Bu. Seharusnya aku memastikan dulu kabar itu benar atau tidak”, kata Om Nyoman. “Berita itu memang benar, Pak. Tapi sayangnya bukan Anne yang pergi ke tingkat nasional. Ini kesalahan panitia! Tadi Anne tidak mau makan siang karenanya. Mudah-mudahan nanti malam dia muncul. Coba kau panggil dia, Ndi. Katamu dia biasa berada di atas pohon”, kata ibu. Terdengar suara Kak Andi memanggil-manggilku. “Ke mana lagi anak itu?”, tanya ibu cemas. “Nanti pasti muncul. Ibu tidak perlu cemas. Saya pamit dulu, Bu”, ujar Om Nyoman. Masih terdengar suara kakak memanggil.
Aku mandi dengan air dingin. Sedingin perasaanku. Sambil mengguyur badan dengan air aku masih merenungi kejadian ini. Saat keluar, aku bertemu Kak Andi. “Ke mana saja kau? Ibu sampai cemas memikirkanmu”, tanya Kak Andi. Tapi aku diam saja.
“Tuhan, berikanlah hamba-Mu kesabaran dalam menghadapi cobaan ini. Berikanlah ketabahan untuk terus berkarya. Jangan biarkan aku ini terpuruk dalam kelaraan”, doaku.
Hari-hari selanjutnya aku berusaha tegar. Walau masih teringat kejadian yang mengecewakan itu, aku tidak ingin ibu sedih melihatku. Karena itu aku melewatkannya dengan melukis. Om Nyoman masih mengajariku. Tak jarang Om menawarkanku berbagai macam kompetisi. Tapi selalu kutolak dengan halus. Aku tidak berminat dengan lomba lagi, tapi aku ingin tetap melukis. Makin hari, makin banyak lukisanku. Baik yang kertas maupun kanvas. Kamarku penuh dengan lukisan. Sampai-sampai sebagian kutitipkan di kamar Kak Andi. Lukisanku kebanyakan menggunakan pewarna alami yang kubuat sendiri. Ada yang dari kunyit, kembang sepatu, daun, dan masih banyak lagi. Aku sering bereksperimen dengannya. Lukisanku juga kubuat lebih ekspresif dan tanpa beban karena tidak terikat dengan tema-tema lomba. Aku juga membuat formula warna yang kuberi nama Formula Violeta. Dengan formula ini aku bisa melukis laut dalam yang indah sekali. Begitu pula jika aku mencampurnya dengan putih akan menghasilkan langit biru yang kemilau.
Aku juga sering menggambarkan perasaan hatiku. Di saat aku senang aku sering menarikan kuas untuk menggambarkan perasaanku. Jika hatiku sedang lara atau sedang jengkel, aku selalu menumpahkannya di lukisanku. Aku sering mengajari anak-anak jalanan dan murid-murid Om Nyoman melukis dengan bahan alami. Bahkan aku menyulap halaman rumahku menjadi tempat kursus melukis gratis untuk anak-anak jalanan dan yatim piatu. Awalnya aku gugup untuk menjelaskan bagaimana cara membuat warna-warna alami ini. Tapi seiring berjalannya waktu aku sudah terbiasa. Formulaku bisa di taruh di mana saja, bahkan semakin terpapar sinar matahari lukisanku makin berkilau.
Namun, banyak pelukis lokal yang tidak suka dengan terobosan baruku. Mereka menganggapku gadungan. Aku dianggap telah merusak keindahan seni rupa. Om Nyoman bahkan diancam untuk membubarkan kursus ini. Tapi Om tetap mempertahankan dan melindungiku. Aku sampai merasa tidak enak dengan Om. Aku juga tidak dianggap pelukis cilik di sini. Karena itu aku sering naik ke atas pohonku untuk menghibur diri.
Siang ini ada seorang pelukis yang datang ke rumahku mengancam agar membubarkan kursus gratisku yang dianggapnya konyol. Tapi aku tak kalah gertak. Aku melawan segala pendapatnya. Kak Andi dan ibu juga membelaku. Pelukis itu marah besar. Matanya melotot seperti katak hingga timbul perasaan bola matanya bisa keluar dari rongganya. Dia meninggalkan rumahku sambil meneriakkan berbagai ejekan. Para tetangga sampai keluar dari rumah mereka untuk melihat apa yang terjadi.
Aku menghela napas panjang. Aku tidak berselera untuk makan siang. Padahal ibu sudah memasak opor kesukaanku. Aku memanjat pohon lagi. Kupandang burung-burung kecil yang sedang bermain di sarangnya. Lama sekali aku duduk di atas. Hingga akhirnya ada suara Kak Andi memanggilku. Kelihatannya seperti tergesa-gesa. “Anne, ayo cepat turun! Dik, aku..” Belum selesai Kak Andi bicara aku sudah memotongnya. “Aku tahu maksudmu baik. Kamu tidak perlu menghiburku. Aku sudah biasa dengan situasi seperti ini.” Kak Andi menyela, “Bukan itu maksudku. Aku tadi mau..” “Sudah! Biarkan aku di sini”, kataku. Kak Andi sudah mulai kehilangan kesabaran. Dicampakkannya secarik kertas di tangannya ke tanah. “Ya, sudah! Padahal tadi aku mau memberitahumu kabar baik.” Kak Andi sudah hendak melangkah pergi. “Hei, nanti dulu! Kertas apa itu?”, tanyaku. Aku cepat-cepat turun dari pohon. Kak Andi menyerahkan kertas tadi. Raut wajahnya sudah ceria lagi.
“Kita semua diundang ke Venesia. Letaknya di Italia. Semua biaya akan ditanggung pemerintah dan Venice Biennale. Itu adalah pameran lukisan paling bergengsi di dunia!” Kak Andi menjelaskan. “Tapi aku kan tidak pernah berurusan dengan Veniece Biennal. Apakah mereka juga ingin menegur tentang formulaku?”, tanyaku dengan tergagap. Kak Andi tertawa. Rasanya seluruh dunia menertawakanku. “Tentu saja tidak! Justru sebaliknya. Kamu akan diberi penghargaan karena penemuan formulamu yang begitu gemilang!”
Aku terperangah mendengarnya. “Tapi aku kan tidak pernah mengirim surat mengenainya ke Venice Biennale”, kataku masih terbata-bata karena belum pulih dari rasa kaget. Kak Andi merangkulku sambil mengajakku masuk ke rumah, “Aku tidak ingin kamu terus tertekan karena ulah pelukis-pelukis lokal yang berpikiran sempit. Karena itu aku mengirimkan karya-karyamu ke Venice Biennal. Aku mendapatkan alamatnya dari internet. Aku menceritakan tentang kegagalanmu dalam lomba, lukisanmu, penemuan formula, dan pelukis-pelukis lokal yang mencemooh karyamu. Wah, aku sampai keringat dingin saat membuat surat dalam bahasa inggris. Sampai-sampai aku harus konfirmasi dengan temanku yang jago bahasa asing itu dan semua guru bahasa inggris di sekolahku dan guru bahasa inggrismu. Dan itulah balasannya.” Aku langsung memeluknya. Ternyata Kak Andi begitu sayang sekali padaku. “Ya, Tuhan Yang Maha Kuasa, terima kasih atas semua berkat yang telah Kau berikan padaku. Aku bersyukur mempunyai kakak yang begitu sayang padaku serta orang-orang disekelilingku yang selalu memberikan harapan dan semangat”
Sore ini aku memanjat pohon bersama kakak. Kami bisa melihat anak-anak burung itu sedang belajar terbang. Perlahan tapi pasti, burung-burung kecil itu bisa mengepakkan sayap mereka agar bisa terbang. Dengan pantang menyerah mereka akhirnya dapat membumbung ke langit jingga merona. Kami melambai kepada anak-anak burung itu disambut dengan kicauan induknya.
“Kak, sekarang aku sadar. Aku harus seperti burung-burung itu. Dengan tabah dan kerja keras mereka akhirnya bisa terbang ke angkasa. Bertumbuh dewasa dengan suka cita. Walaupun mereka masih muda tak dipedulikannya rasa takut bila jatuh. Mereka juga tidak peduli dengan kita yang sedari tadi menontoninya. Aku harus meneladani mereka!”, tekadku penuh keyakinan. Kak Andi tersenyum lalu meninju lenganku. Aku membalasnya, tapi dia menghindar dengan tangkas.
Om Nyoman sudah diberitahu tentang hal ini. Dia memberi selamat padaku berkali-kali. Ia bangga sekali kepada kakak dan aku. “Ibu, kita harus berkemas dari sekarang saja. Yuk, kita keluarkan koper tua kita dari gudang”, usulku. Kami pun sibuk berkemas.
“Aku mau membawa kaus ini.”
“Kalau Kak Andi mau membawa topi kesayangan.”
“Ah, iya! Ibu lupa memasukkan minyak angin dan bedak.”
Kami sibuk mengemasi ini dan itu. Tampak tumpukan barang-barang di pojok ruangan. Kemudian aku berjalan untuk melihat kalender. Tiba-tiba aku berseru, “Hei! Sekarang bulan Desember. Di sana kan sedang musim salju. Kita harus membawa pakaian hangat.” Akhirnya kami membongkar lagi bawaan kami.
Akhirnya tiba saatnya kami berangkat. Kami gembira sekali ketika sudah sampai di Italia. Inilah seumur hidupku pertama kalinya pergi ke luar negeri. Kami disambut seperti layaknya tamu terhormat. Ini pertama kalinya kami melihat menara Pisa yang sesungguhnya. Biasanya aku hanya melihatnya dari buku sejarah. Di sana aku juga disuruh bercerita bagaimana aku bisa melukis dengan formula bahan alamiku.
Sejak itu aku sering diundang untuk mengadakan pameran di luar negeri. Ibu dan Kak Andi selalu menyertaiku. Uang yang kudapat dari Venice Biennal kupakai untuk membuat asrama untuk menampung anak-anak jalanan dan yatim piatu. Di sini mereka tidak hanya diajari melukis. Aku mengundang guru matematika, sains, sejarah, dan masih banyak lagi. Kuberi nama Children’s Achievements Palace. Aku dan Om Nyoman bergantian mengajari mereka melukis. Aku juga membuat tempat untuk memamerkan hasil karya mereka di dekat pantai di samping karyaku. Banyak juga anak-anak dari kalangan menengah maupun atas yang belajar melukis padaku pada jam-jam tertentu. Pelukis-pelukis yang dulu menentangku terperangah ketika mengetahui bahwa aku diundang Venice Biennal atas keberhasilan formulaku.
Puji syukur kepada Tuhan karena telah mengabulkan untaian doaku. Terima kasih Ibu,  Kak Andi, Om Nyoman dan semua orang yang senantiasa selalu mendukungku sehingga aku bisa berhasil menggapai cita-citaku. Terima kasih pula burung-burung kecil yang telah mengispirasiku selama ini...
***
65 tahun kemudian
            Kututup buku biografi nenekku. “Tak kusangka ternyata nenek dulu pernah mengalami jalan yang berliku-liku sebelum menjadi orang yang sukses. Banyak cobaan yang harus dihadapi untuk mencapai keberhasilan, terutama untuk berbuat kebaikan. Kini aku menjadi seorang pemimpin. Aku sudah berusaha memperbaiki masalah pangan dan politik. Kini negeri ini tidak lagi mengimpor bahan pangan. Sudah jarang ada pejabat yang berani korupsi. Namun, masih banyak yang mesti kuperbaiki. Aku ingin seperti nenekku yang hingga saat ini masih menampung anak-anak jalanan dan yatim piatu serta mengajari mereka banyak hal. Kabarnya mereka banyak yang menjadi orang sukses”, benakku.
            Di atas meja ada banyak sekali tumpukan kertas. Di tengahnya ada secangkir susu kedelai. Kucium aromanya. Kuteguk susu yang hangat. Senyumku menghiasi wajah lelahku. Aku bangga meminumnya karena ini merupakan hasil dari keringat rakyat negeri ini. Masih banyak tugas dan rintangan yang menanti. Namun, aku sudah siap menghadapinya, karena aku masih punya secangkir harapan untuk memulai hari ini dengan lebih baik lagi.
**Selesai**

Ini cerpenku saat mengkuti Lomba Menulis Surat Remaja 2013. Puji Tuhan bisa menjadi juara harapan. Semoga tahun ini bisa menjadi juara lagi :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar