Minggu, 06 April 2014

CERPEN: DENTANG CINTA SEPANJANG MUSIM (KARYA: METTA ALVIONITA HERIYANTO)

Malam yang sepi dan sunyi. Kabut tipis melingkupi keheningan malam. Sebuah lampu jalan berkedip remang-remang. Yang terdengar hanya desau angin. Aliran air yang menggelitik bulu roma. Sang rembulan menyembul dari balik awan sirius. Ekspresi malam yang cukup membuat orang ciut seperti celurut. Aku pirsa seorang wanita tua dengan tongkatnya berjalan pelan ke sebuah pemakaman membawa serangkai bunga yang indah dan harum semerbak. Gaun hitamnya berdesir di antara rerumputan dan dedaunan kering. Rambut putihnya berkibar oleh hembusan angin malam. Memantulkan sinar keperakan. Nafasnya tetap berasimilasi dengan tenang. Aku terbang tanpa suara mengikuti wanita tua itu dari atas kepalanya. Dia berhenti di depan sebuah batu nisan putih yang berdebu. Di sana tertulis:
Raisa Agustina (17 Agustus 1996 - 15 Desember 2093)
Walaupun ragaku telah membusuk
Rongkonganku hanya tinggal sukma
Helaian rambutku menyatu dengan tanah
Dan darahku mengalir bersama siklus air
Jiwaku tak akan pernah hancur untuk menyelamatkan planet ini
Kuingin bereinkarnasi di setiap ruang dan waktu
Menyempurnakan setiap detail misiku
Wanita tua itu tersenyum dan duduk di samping batu nisan. Ditaruhnya rangkaian bunga itu ke tanah dan menngucapkan doa. “Aku tak akan melupakan jasa dan cintamu. Aku akan selalu melanjutkan misimu. Menyempurnakan setiap detailnya. Aku sudah menceritakan kepada anak-anak dan cucuku tentang kisah perjuanganmu” Dan ia mengenang kembali memori bertahun-tahun silam.
*
Aku hanya seorang gadis jelata yang berasal dari keluarga miskin. Keluargaku memang miskin harta, tapi tidak miskin iman. Aku tahu, aku tidak bisa menuntut banyak kepada orangtuaku yang hanya bekerja sebagai pemulung. Upahnya tidak banyak. Namun, cukup untuk makan tiga kali sehari. Aku mendapat beasiswa dari pemkot karena aku anak tak mampu. Semua temanku mengetahui latar belakangku. Tak jarang mereka mengejek, mencemooh, dan mencaci makiku. Lidah mereka sering membuat hatiku sakit! Seperti berjalan di atas jalan setapak berduri dengan kaki telanjang. “Idih, ada anak sampah lewat! Makan ditemani sampah, mandi dekat sampah, tidur bersama sampah!” Aku tahu Tuhan sedang menguji kesabaranku. Setiap kali mereka mengejekku dengan lidah tajam, aku selalu berdoa, “Tuhan, berikanlah aku kesabaran dalam menghadapi ujianmu, agar aku bisa membanggakan ayah dan bunda”
Setiap pulang sekolah, aku membantu ayah dan bunda memulung sampah. Kupungut semua sampah yang dapat aku lihat dengan pengait besiku. Aku sering diledek ketika kebetulan bertemu dengan teman-temanku. “Oi, anak sampah! Boleh kami ikut membantu?”, teriak salah seorang anak. Mereka akan tertawa terbahak-bahak. Walaupun diperlakukan demikian aku tidak cengeng. Kepalaku tegak dan pandangan lurus ke depan.
Setelah karung besarku telah penuh sesak, aku akan beristirahat di bawah pohon mahoni di taman kota. Aku sering curhat dengannya walaupun aku tahu mungkin dia tak akan mendengar. Pohon ini bertambah suram sejak beberapa pohon di sekitarnya ditebang untuk memperlebar jalan. Daunnya yang hijau telah menguning dan meranggas. Kulit kayunya bertambah rapuh.
Di tubuhnya ditempeli berbagai sirkuler. Mulai dari kuras wc hingga kampanye-kampanye yang penuh pencitraan palsu. Tak tahukah mereka itu melukainya? Tak tersentuhkah hati mereka kalau dia terluka, sampai mengeluarkan darah? Ada pula yang mengukir berbagai sumpah serapah seakan itulah realisasi dari pohon mahoni ini. Hari ini ada lagi selebaran kuras wc yang dipakukan dengan paku payung di tubuh sahabatku. Aku mencabut paku itu. Seketika lecet itu mengalirkan darah kentalnya. Aku seakan dapat merasakan kenestapaannya. Aku ingin menyembuhkannya.
*
            Aku heran melihat gadis yang begitu tegar ini. Tiap siang ia selalu datang ke hadapanku dan duduk di bawah keteduhanku yang makin hari makin sirna. Aku tahu gadis ini adalah seorang pemulung. Mungkin bagi orang-orang yang melihatnya, dia adalah anak kampungan yang bermasa depan suram. Dan kemungkinan sinting karena berbicara dengan pohon. Namun, aku bisa mengetahui di balik mata ketulusannya itu ada sepucuk tunas mungil yang tumbuh di dalam hatinya.
Siang ini, dia kembali bercerita kepadaku tentang teman-temannya, adiknya, dan teman-temanku yang makin sedikit. Kepalanya menengadah menatap tangan-tanganku yang nelangsa. “Kau lihat sungai itu, Sobat? Sampai kapan wajahnya dikotori sampah-sampah tanpa ada yang membersihkannya? Sungguh aku bingung. Siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua ulah manusia?” Kuperhatikan air muka geramnya. Air mata menggenangi pelupuk matanya. Sungai mengalir di pipinya dan bermuara di leher. Kurasakan empatinya. Aku merasa kasihan pada nasib teman-temanku yang makin lama kuantitasnya berkurang. Mungkinkah aku akan bernasib sama dengan mereka? Aku hanya bisa berdoa, “Tuhan, aku tahu aku hanya sebatang pohon renta yang sakit-sakitan. Tapi aku tetap mengharapkan tangan-tangan bijaksanamu untuk memberikan wewenang kepada gadis ini menjadi penyelamat kami yang akan menyadarkan semua orang betapa dibutuhkannya peranan kami dalam ekosistem” Kusisipkan doaku kepada seekor murai yang bertengger di pundakku dan menyebarkan doaku kepada kawan-kawan.
Gadis ini juga melantunkan puisi untuk menyemangatiku. Begitu merdu dan indah sampai aku mengira itu suara seorang penyanyi terkenal. Aku terbawa arus.
*
            Perasaanku begitu berkecamuk dalam perjalanan pulang ke gubukku. Aku dongkol kepada Adit, teman sekelasku, yang menista orangtuaku. Perasaan gundah juga menyulut hatiku. Pohon mahoni, satu-satunya temanku selama ini, makin hari makin buruk keadaannya. Aku juga naik darah kepada pemkot yang terus-menerus memperlebar jalan hanya untuk menanggulangi masalah kemacetan. Mereka juga tak pernah menyiram pohon-pohon di jalur hijau dan taman kota. Tak sadarkah mereka betapa dibutuhkannya pohon-pohon bagi bumi? Tak tahukah mereka pohon juga makhluk ciptaan Tuhan, sama seperti mereka? Alpakah mereka bahwa mereka sebenarnya juga membutuhkan molekul-molekul oksigen?
            Aku ingin menyelamatkan bumi, walau hanya dengan tangan-tangan mungilku. Aku ingin menyelamatkan sahabatku berikut kawan-kawannya.
Namun, bagaimana caraku memulainya? Aku berlari sepanjang perjalanan dengan tangan kanan memanggul karung berisi penuh sampah, dan tangan kiri menggenggam pengait. Tak kupedulikan suara-suara heran dan ledek-meledek. Kutumpahkan sampah-sampah yang berhasil kupungut. Kuaduk mereka untuk mencari sesuatu yang dapat berarti untuk misi penyelamatanku. Lalat-lalat sebesar kedelai beterbangan. Ketika aku menggenggam bonggol jagung yang mulai membusuk, sebuah ide terlintas dalam benakku.
*
            Aku merasa kian rapuh. Semilir angin menghembus lembut daun-daunku yang menguning. Hanya sedikit daun hijau pada diriku. Itupun hijau pucat. Aku beretiolasi. Aku terus mengulang doaku siang tadi. Kutitipkan doaku pada angin malam, bintang, peri tidur, kunang-kunang, dan keheningan malam. Sebagian jiwaku lara dan sebagiannya lagi penuh pengharapan. Aku berusaha melupakan perasaanku yang sendu. Raut wajah gadis itu terlukis dalam sanubariku sepanjang malam. Kututup mataku. Sebuah memori terlintas dalam benakku. Aku melihat diriku yang muda. Hijau dan gagah. Gadis itu bermain kejar-kejaran bersama adiknya. Ia tersandung akarku. Adiknya sudah berlalu sambil tertawa-tawa. Tak disadarinya bahwa kakaknya terluka. Gadis ini terisak-isak. Tidak ada yang mendengar suaranya memanggil adiknya. Lehernya tercekat. Ia kemudian bersandar ke tubuhku pasrah lalu tertidur. Diam-diam aku memanggil peri pohon untuk mengobati lukanya dan memanipulasi ingatannya. Ketika dia terbangun, ia sudah tidak ingat lagi akan kejadian sebelum ia tertidur. Tapi dia memiliki perasaan kuat denganku. Sejak itu ia sering kemari. Aku tersenyum mengingat momentum itu. Aku seakan merasakan ada tangan-tangan Tuhan yang sedang bekerja. Kulantunkan puisi yang tadi kudengar yang hanya didengar oleh seekor burung hantu hitam.
*
            Aku bangun lebih pagi dari biasanya, walaupun aku tak bisa tidur nyenyak semalam dan terlalu letih. Adikku terduduk di sebelahku sambil menggosok matanya. Ada semangat baru yang bergejolak melalui setiap sel darah dalam tubuhku. Nadiku berdenyut penuh gelora. Adikku menoleh, “Jadi kan, Kak?” Aku hanya tersenyum simpul dan bergegas keluar kamar. Untunglah adikku juga mendukung misiku walaupun sepertinya ia tak begitu yakin. Aku menatap ke luar jendela yang masih gelap. Aku seakan melihat titik cahaya kecil bermil-mil jauhnya dari tempatku. Kumulai hari ini dengan serumpun cinta.
*
            Aku terkejut melihat dua gadis menghampiriku. Sahabatku dan adiknya. Tapi, aku juga melihat seorang pemuda berjalan di belakang mereka di antara semak belukar. Itu tak penting. Aku sudah sering melihatnya setiap pagi. Mereka berdua sama-sama menenteng dua
tas plastik. Kelihatannya berat. Aku berusaha menebak-nebak apa kiranya yang dibawa dan apa yang akan mereka lakukan. Sahabatku mengeluarkan sebotol cairan kuning. Ia menatapku penuh arti seraya berkata, ”Ini adalah langkah pertamaku, Sobat. Aku tak tega melihat engkau dan kawan-kawanmu menderita. Jadi aku dan adikku membuatkan vitamin untukmu. Semoga dengan ini kalian cepat pulih” Lalu ia tumpahkan sedikit demi sedikit pupuk cair itu. Aku dengan cepat mengisapnya melalui bulu-bulu akarku. Rasanya nikmat dan aku merasa kesehatanku mulai pulih. “Tuhan, aku sampaikan rasa terima kasihku karena Engkau telah mengabulkan doaku. Berkatilah gadis ini. Muluskanlah setiap langkah aksi penyelamatannya”
*
            Aku berolahraga setiap bagi di taman kota sebelum berangkat kerja. Aku turut prihatin melihat kebijakan pemkot yang semena-mena terhadap pohon-pohon di kota. Taman kota yang dulunya hijau dan indah, sekarang gersang dan suram. Aku sering mengadakan protes melalui tulisanku. Sayangnya, tidak ada yang hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti untuk menyelamatkannya.
            Pagi ini taman sepi. Hanya ada aku dan seorang tukang sampah. Tiba-tiba, aku melihat dua gadis dengan seragam putih biru lusuh memanggul tas sekolah usang dan menjinjing tas plastik yang penuh entah dengan apa. Aku merasakan gelora semangat mereka menyeruak melewati udara pagi. Aku mengikuti mereka diam-diam. Aku melihat mereka berhenti di bawah sebatang pohon mahoni. Aku tercengang mendengar perkataan gadis yang paling tua, ”Ini adalah langkah pertamaku, Sobat. Aku tak tega melihat engkau dan kawan-kawanmu menderita. Jadi aku dan adikku membuatkan vitamin untukmu. Semoga dengan ini kalian cepat sembuh”    Aku melihat gadis itu menuangkan cairan kuning itu yang kupahami sebagai pupuk yang diolah dari sampah organik. Mereka berlalu dan menghilang di balik tikungan jalan. Aku mengerling ke pohon itu. “Kau beruntung memiliki sahabat yang sangat peduli padamu” Aku berlalu dengan senyuman merekah. Siapa sangka seorang gadis lusuh sangat peduli dengan lingkungannya? Sementara banyak orang berpenampilan mewah, berpendidikan, tapi semena-mena. Mereka membersihkan rumahnya dengan sangat cermat dan menenteng sampah dan membuangnya sembarangan di sungai, di bawah pohon, dan berperilaku jorok. Kapan mereka akan sadar?
*
            Aku tak hentinya melakukan penghijauan. Aku sering menanam biji-biji yang kudapatkan dari buah busuk yang kupulung. Aku tidak hanya menanamnya di rumah, tapi juga di dekat sahabatku agar dia tidak kesepian. Setiap pagi, aku dan adikku menyiram mereka atau memberi pupuk. Kami selalu melakukannya pada pagi hari sebelum taman kota ramai. Hanya ada tukang sampah dan satu atau dua orang yang berolahraga. Tiap sepulang dari memulung, aku selalu membuat pupuk cair bersama adikku, Leni. Sebagian kami jual kepada kios Bu Ani. Sebagiannya kami simpan untuk persediaan. Uang penghasilan dari menjual pupuk kami berikan kepada ayah dan bunda. Mereka sangat bangga kepada kami. Mereka selalu berpesan kepada kami untuk gigih menggapai cita-cita dan menyelamatkan bumi kita yang makin hilang rona hijaunya. “Terus berkarya dan gigih berkerja, Nak. Jangan pula lupakan sekolah kalian. Ayah selalu mendukung kalian”, pesan ayah. Bunda juga mendoakan, “Semoga kalian bertumbuh menjadi anak-anak yang berguna bagi bangsa dan negara. Kembalikan lagi semburat warna hijau bumi kita”
            Ayah tak jarang membantu kami membantu membuat pupuk bila ada waktu senggang. Bunda juga makin rajin membesarkan pohon-pohon yang aku dan Leni tanam untuknya. Tidak hanya pupuk yang kami buat. Aku membuat bunga dari kapas popok yang dikeringkan. Aku pernah membacanya di koran yang telah dibuang di tempat sampah. Leni juga rajin membuat mainan dari kaleng-kaleng minuman bekas. Kami pun menjualnya di toko mainan. Sampah-sampah itu menjadi rupiah.
*
            Aku turut bersuka cita untuk sabahatku yang makin akrab dengan alam. Sekarang, aku sering melihatnya memulung sampah bersama adiknya di sekitar sungai yang melewati kota ini. Perlahan tapi pasti, kecantikan sungai ini kembali menyeruak. Sebelumnya, memang warga yang tinggal di sekitar sungai itu mencibirnya. Namun, perlahan mereka mulai sadar. Siang ini, aku melihat mereka membantu sababatku membersihkan sungai itu. Sungai itu begitu gembira. Suara percikan airnya begitu menggelitik telinga. Aku dan kawan-kawanku histeris melihat kecantikan sungai itu. Airnya yang sekarang perlahan jernih memantulkan semburat sinar matahari jingga yang sangat cantik. Aku melihat sunggingan senyum gadis itu menghiasi binar wajahnya.
Aku sendiri merasa kesehatanku mulai pulih karena dirawat secara rutin oleh sahabatku. Dari ujung-ujung jemariku tumbuh sepucuk daun harapan. Aku selalu mengucapkan syukurku kepada Yang Maha Kuasa. “Tuhan, aku tahu Kau selalu memberkati anak-anak yang peduli kepada sesama makhluk ciptaanmu. Berkatilah dia seperti yang telah diimpikannya”
Sungai itu tak hentinya berceloteh tentang kegembiraannya dan kecantikannya yang sempat lenyap. Ia tak lupa bersyukur kepada Tuhan. Aku juga menitipkan rasa terima kasihku kepada kawan-kawanku yang telah bersama-sama mendoakan sahabatku itu melalui murai-murai.
*
            Kulangkahkan kakiku ke sungai. Beriak airnya memantulkan sinar mentari yang baru saja terbit. Kurasakan baluran cinta udara pagi menyejukkanku dan mendorongku untuk terus melangkah ke tempat tujuanku. Ia bukan sungai nestapa yang dahulu. Dia bak kekasihku.
            Aku telah tiba ke tempat tujuanku. Kusapa gadis yang kira-kira sebaya denganku, “Selamat pagi, Ana. Hari yang cerah, ya” Dia tersenyum lebar ketika melihatku. Ia langsung berlari menghampiriku. “Selamat pagi juga, Sobat. Ada apa gerangan engkau datang pagi-pagi begini?”, sahutnya. Aku merangkulnya dan merogoh sebuah kantong dari karung goni yang diikat dengan rafia merah. “Aku ingin kalian menanamnya. Jika mereka sudah bertambah dewasa, mereka akan menambah kecantikan sungai ini dan memberikan keteduhan untuk kalian. Dikau bisa melihat pohon mahoni yang di sebelah sana itu? Ya, yang itu. Dia adalah sahabatku. Aku sering curhat kepadanya. Aku senang dia mulai sehat sekarang”
            Sambil mengucapkan terima kasih, teman baruku itu berlari ke rumahnya sedangkan aku menapaki jalan yang beraspal melintasi jembatan. Aku melongok ke bawah dan kulihat sungai itu tersenyum penuh terima kasih yang terbentuk dari gelombang airnya yang berkilau memantulkan sinar mentari.
*
            Aku hanya bisa berdecak kagum dengan pionir hijau cilik ini. Ia sering menanyakan kabarku. Dia terus bercerita tentang aksi penyelamatannya dan sering mengonfirmasi tempat mana lagi yang harus ia selamatkan. Setiap malam aku selalu menitipkan jawabanku kepada peri tidur agar memberitahunya melalui bunga tidur. Terus-menerus kulukiskan paras wajahnya yang manis dalam sanubariku. Tiap pagi dia selalu menyapa dan menanyakan keadaanku. Tak lupa dia menghaturkan rasa terima kasih atas nasihatku.
            Sekarang banyak serangga yang bermain-main di taman ini. Makin banyak spesies murai yang bernyanyi bagaikan konser alam gratis. Aku sering melantunkan puisi yang nantinya dibawa angin. Sore ini, seperti biasa, dia datang menghampiriku dengan membawa karung sampah seperti dan menyandang ransel dipunggungnya. Dia memelukku erat seraya menyapaku. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku pelan karena gemas. Dikeluarkannya sebuah botol dari ranselnya. Dituangkannya ke tanah yang dengan cepat aku isap. Dia mengelusku penuh sayang dan duduk di sisiku sambil mengerjakan tugas sekolahnya. Kulindungi dia dari sinar ultraviolet dengan daun-daunku yang hijau dan lebat. Seekor kupu-kupu putih bersayap lebar hinggap di rambutnya seperti sebuah jepitan rambut. Ia tampak cantik dengan kupu-kupu itu walaupun dengan seragam lusuhnya.
*
            Kubawa kakiku menuju gubuk reyotku. Aku tumpahkan sampah-sampah yang siang tadi aku pungut. Aku tersenyum memandang sampah-sampah ini. “Tuhan, aku sangat berterima kasih kepadamu karena telah memuluskan misiku. Lindungilah ciptaanmu dan sadarkan mereka yang masih belum saling mencintai sesama makhluk-Mu”
            Tiba-tiba pintu dapur menjeblak terbuka. Adikku datang sambil besorak gembira seperti kesetanan. “Ada apa denganmu, Leni? Hei, jangan tertawa terus! Ada apa sih?” Kuguncang tubuhnya keras-keras. “Kakakku hebat! Kakak berhasil! Kakak Sang Pionir!”, soraknya. Aku masih tidak mengerti. Tiba-tiba aku melihat ayah dan bunda juga berlari menghampiriku. Mereka memelukku dengan erat. Bunda menangis terharu. Ini membuatku makin bingung. “A.. A.. Ada ap..pa inii?”, tanyaku terbata-bata. Bunda mengelus pundakku. Bunda mulai berbicara, “Tuhan telah memberkatimu, Nak. Ada seorang wartawan surat kabar kemari dan memberikan penghargaan kepadamu atas semua misi penyelamatanmu. Kamu akan masuk koran, Nak! Selain itu perusahaannya memberikan beasiswa untukmu hingga lulus kuliah dan memberimu uang saku tiap bulannya. Bunda sangat bangga kepadamu, Nak”, Bunda memelukku erat dalam isakan tangis harunya. “Rumah kita juga akan direnovasi. Mereka akan menyediakan tempat khusus untuk kita sebagai tempat mengolah sampah. Mereka juga terinspirasi untuk menanam pohon di sekitar tempat kerja mereka. Pria itu sedang memproses pengaduan kepada pemkot agar tidak terus menerus memperlebar jalan dan menceritakan kegigihanmu”, tutur adikku penuh semangat. “Kamu memang dutanya alam. Ayah bangga padamu! Kau Sang Pionir Hijau!”, sahut ayah sambil menepuk bahuku terlalu keras. Sebuah sungai mengalir di pipiku yang memerah. “Di mana orang itu?” Dan seketika aku terkesiap melihat seorang pria berdiri di depan pintu dapur sambil bersandar di kusen pintu. Ia tersenyum ramah kepadaku. Ia hanya mengatakan, “Selamat, Raisa. Kau adalah inspirasi kami”. Tak salah lagi. Dia orang yang sering kulihat di taman kota belakangan ini. Aku menengadah ke langit. “Tuhan, terima kasih atas semua berkah yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-Mu ini. Aku akan terus berjuang untuk menyelamatkan planet biru ini. Berikan aku kegigihan dan kerendahan hati untuk menjalankan misi yang telah kau titipkan kepadaku. Semoga dengan ini semua orang sadar, betapa mereka membutuhkan bumi ini” Aku menoleh ke pria itu dan mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
*
            Angin malam menghembus melalui daun-daunku. Burung-burung berhenti berkicau yang diganti dengan hewan nokturnal. Seekor burung hantu bertengger di lenganku sambil beruhu panjang. Namun, tiba-tiba terdiam seakan mendengarkan sesuatu. Tiba-tiba dia menukik dan menghujam seekor tikus yang mencicit tak berdaya. Tiga ekor kelelawar beterbangan di taman. Laron-laron mengitari lampu-lampu taman. Seekor kucing mendengkur di bawah kursi taman. Pohon-pohon mungil yang ditanam sahabatku sudah tidur pulas. Titik-titik air mulai turun ke bumi secara perlahan yang sedingin es. Tiba-tiba aku merasakan gerakan di dekatku. Aku langsung waspada. Oh, tenyata hanya gadis sahabatku. Tapi apa yang diperbuatnya malam-malam begini? Semua hewan dan tumbuhan berpaling kepadanya. Ia menghampiriku. Wajahnya sembab. Air matanya memantulkan cahaya bulan yang keperak-perakan. Bahkan sungai pun menyadari kehadirannya.
            Makin lama langkahnya makin cepat. Ia berlari meghampiriku. Memelukku dengan erat sementara hujan semakin lebat. Dia mengisahkan kejadian tadi sore dengan bersemangat. “Aku sangat beruntung bisa mengenalmu. Aku tahu engkau selalu mendoakanku dan memberiku nasihat melalui mimpi-mimpiku. Terima kasih atas segalanya, pohonku. Aku tak akan mungkin bisa seperti ini tanpa butiran kata-kata doamu. Aku selalu berterima kasih kepada Tuhan, walaupun aku tidak punya teman di sekolah, tapi aku mempunyai teman yang sangat setia. Aku tak peduli jika kau hanya sebatang pohon tua”, isaknya. Ia makin mendekapku dengan erat. Bajunya basah kuyup dan badannya menggigil kedinginan. Tanpa yang ia duga, aku balas memeluknya dengan tangan-tangan besarku. Ia sangat terperanjat. Namun, ia mendekapku makin erat. Lama kami berpelukan sementara hujan mulai berhenti dan bintang-bintang kembali muncul. “Aku juga beruntung mempunyai teman sepertimu. Aku yakin dengan ketegaranmu dikau dapat melindungi bumi dengan sentuhan tangan mungilmu. Bagiku, engkau adalah patriot hijau”, bisikku.
*
            Sinar rembulan menyinari pemakaman dengan sinar keperakannya. Wanita tua itu masih duduk di samping makam ibunya sambil mengelus-elus batu nisan. “Engkau telah berhasil menyelesaikan misi yang diberikan-Nya. Bahkan walikota tersentuh dengan aksimu. Ia makin rajin menanam pohon. Sementara Bunda berbaring dengan tenang di sisi-Nya, taman kota itu menjadi taman percontohan. Indah sekali. Berbagai spesies bunga dan warna ditanam di sana. Kupu-kupu leluasa mengisap nektar. Kunang-kunang berpendar indah di malam hari. Berbagai hewan malam berkeliaran dengan damai. Setiap hari taman itu ramai dengan turis, baik turis lokal maupun turis mancanegara. Sebuah monumen dibangun dekat pohon mahoni itu untuk memperingati jasamu. PBB memberikan penghargaan kepada kota kita sebagai kota hijau. Walikota merasa tak pantas untuk menerimanya. Akhirnya akulah yang menerima penghargaan itu untuk mewakili Bunda”, gumamnya. Tanpa disadarinya bulir-bulir air mata membasahi wajah keriputnya. “Mimpimu tak pernah tandas walaupun Bunda merasa tertekan dengan caci maki. Semoga generasi mendatang senantisa meneladanimu”
Setelah sekian lama, ia berdiri. “Beristirahatlah dalam damai, Bunda. Semoga engkau bahagia di alam-Nya”, kata wanita itu dan berlalu meninggalkannya. Aku pun merasa tersentuh dan kembali ke pohon tempat tinggalku tanpa suara. Angin bertiup tenang dan sejuk. Aku merasakan pemakaman itu penuh dengan kisah inspirasi. Sementara wanita tua itu berlalu, aku melihat seorang wanita cantik dengan gaun hijau panjang yang indah sekali. Mahkota bunga menghiasi kepalanya. Senyumnya mengikuti kepergian wanita itu hingga menghilang di tikungan jalan. Diakah Dewi kahyangan kami yang sudah kukenal sejak lampau?
            Bulir air  memantulkan nuansa hijau
            Kureguk dengan tangan mungil penuh nikmat
            Meninggalkan bayangan sesepuh di berkas delta
            Sekutu kupu-kupu putih menjelajahi tubuh renta
Menyisakan sebaris nama kenangan

Dari sekawanan waktu ke waktu

4 komentar:

  1. Keren mett..
    Idenya bagus, maknanya dalem,
    You're gonna be a great writer sis ^^
    Thumbs Up (Y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe...... Thanks a lot, naw ;)
      You too :D

      Hapus