Malam
yang sepi dan sunyi. Kabut tipis melingkupi keheningan malam. Sebuah lampu
jalan berkedip remang-remang. Yang terdengar hanya desau angin. Aliran air yang
menggelitik bulu roma. Sang rembulan menyembul dari balik awan sirius. Ekspresi
malam yang cukup membuat orang ciut seperti celurut. Aku pirsa seorang wanita
tua dengan tongkatnya berjalan pelan ke sebuah pemakaman membawa serangkai
bunga yang indah dan harum semerbak. Gaun hitamnya berdesir di antara
rerumputan dan dedaunan kering. Rambut putihnya berkibar oleh hembusan angin
malam. Memantulkan sinar keperakan. Nafasnya tetap berasimilasi dengan tenang. Aku
terbang tanpa suara mengikuti wanita tua itu dari atas kepalanya. Dia berhenti
di depan sebuah batu nisan putih yang berdebu. Di sana tertulis:
Raisa
Agustina (17 Agustus 1996 - 15 Desember 2093)
Walaupun ragaku telah membusuk
Rongkonganku hanya tinggal sukma
Helaian rambutku menyatu dengan tanah
Dan darahku mengalir bersama siklus air
Jiwaku tak akan pernah hancur untuk menyelamatkan
planet ini
Kuingin bereinkarnasi di setiap ruang dan waktu
Menyempurnakan setiap detail misiku
Wanita
tua itu tersenyum dan duduk di samping batu nisan. Ditaruhnya rangkaian bunga
itu ke tanah dan menngucapkan doa. “Aku tak akan melupakan jasa dan cintamu. Aku
akan selalu melanjutkan misimu. Menyempurnakan setiap detailnya. Aku sudah
menceritakan kepada anak-anak dan cucuku tentang kisah perjuanganmu” Dan ia
mengenang kembali memori bertahun-tahun silam.
*
Aku
hanya seorang gadis jelata yang berasal dari keluarga miskin. Keluargaku memang
miskin harta, tapi tidak miskin iman. Aku tahu, aku tidak bisa menuntut banyak
kepada orangtuaku yang hanya bekerja sebagai pemulung. Upahnya tidak banyak.
Namun, cukup untuk makan tiga kali sehari. Aku mendapat beasiswa dari pemkot
karena aku anak tak mampu. Semua temanku mengetahui latar belakangku. Tak
jarang mereka mengejek, mencemooh, dan mencaci makiku. Lidah mereka sering
membuat hatiku sakit! Seperti berjalan di atas jalan setapak berduri dengan
kaki telanjang. “Idih, ada anak sampah lewat! Makan ditemani sampah, mandi
dekat sampah, tidur bersama sampah!” Aku tahu Tuhan sedang menguji kesabaranku.
Setiap kali mereka mengejekku dengan lidah tajam, aku selalu berdoa, “Tuhan,
berikanlah aku kesabaran dalam menghadapi ujianmu, agar aku bisa membanggakan
ayah dan bunda”
Setiap
pulang sekolah, aku membantu ayah dan bunda memulung sampah. Kupungut semua
sampah yang dapat aku lihat dengan pengait besiku. Aku sering diledek ketika
kebetulan bertemu dengan teman-temanku. “Oi, anak sampah! Boleh kami ikut
membantu?”, teriak salah seorang anak. Mereka akan tertawa terbahak-bahak. Walaupun
diperlakukan demikian aku tidak cengeng. Kepalaku tegak dan pandangan lurus ke
depan.
Setelah
karung besarku telah penuh sesak, aku akan beristirahat di bawah pohon mahoni
di taman kota. Aku sering curhat dengannya walaupun aku tahu mungkin dia tak
akan mendengar. Pohon ini bertambah suram sejak beberapa pohon di sekitarnya
ditebang untuk memperlebar jalan. Daunnya yang hijau telah menguning dan
meranggas. Kulit kayunya bertambah rapuh.
Di
tubuhnya ditempeli berbagai sirkuler. Mulai dari kuras wc hingga kampanye-kampanye
yang penuh pencitraan palsu. Tak tahukah mereka itu melukainya? Tak
tersentuhkah hati mereka kalau dia terluka, sampai mengeluarkan darah? Ada pula
yang mengukir berbagai sumpah serapah seakan itulah realisasi dari pohon mahoni
ini. Hari ini ada lagi selebaran kuras wc yang dipakukan dengan paku payung di
tubuh sahabatku. Aku mencabut paku itu. Seketika lecet itu mengalirkan darah
kentalnya. Aku seakan dapat merasakan kenestapaannya. Aku ingin menyembuhkannya.
*
Aku heran melihat gadis yang begitu
tegar ini. Tiap siang ia selalu datang ke hadapanku dan duduk di bawah
keteduhanku yang makin hari makin sirna. Aku tahu gadis ini adalah seorang
pemulung. Mungkin bagi orang-orang yang melihatnya, dia adalah anak kampungan
yang bermasa depan suram. Dan kemungkinan sinting karena berbicara dengan pohon.
Namun, aku bisa mengetahui di balik mata ketulusannya itu ada sepucuk tunas mungil
yang tumbuh di dalam hatinya.
Siang
ini, dia kembali bercerita kepadaku tentang teman-temannya, adiknya, dan
teman-temanku yang makin sedikit. Kepalanya menengadah menatap tangan-tanganku
yang nelangsa. “Kau lihat sungai itu, Sobat? Sampai kapan wajahnya dikotori sampah-sampah
tanpa ada yang membersihkannya? Sungguh aku bingung. Siapakah yang harus
bertanggung jawab atas semua ulah manusia?” Kuperhatikan air muka geramnya. Air
mata menggenangi pelupuk matanya. Sungai mengalir di pipinya dan bermuara di
leher. Kurasakan empatinya. Aku merasa kasihan pada nasib teman-temanku yang makin
lama kuantitasnya berkurang. Mungkinkah aku akan bernasib sama dengan mereka?
Aku hanya bisa berdoa, “Tuhan, aku tahu aku hanya sebatang pohon renta yang
sakit-sakitan. Tapi aku tetap mengharapkan tangan-tangan bijaksanamu untuk
memberikan wewenang kepada gadis ini menjadi penyelamat kami yang akan
menyadarkan semua orang betapa dibutuhkannya peranan kami dalam ekosistem”
Kusisipkan doaku kepada seekor murai yang bertengger di pundakku dan
menyebarkan doaku kepada kawan-kawan.
Gadis
ini juga melantunkan puisi untuk menyemangatiku. Begitu merdu dan indah sampai
aku mengira itu suara seorang penyanyi terkenal. Aku terbawa arus.
*
Perasaanku begitu berkecamuk dalam
perjalanan pulang ke gubukku. Aku dongkol kepada Adit, teman sekelasku, yang menista
orangtuaku. Perasaan gundah juga menyulut hatiku. Pohon mahoni, satu-satunya temanku
selama ini, makin hari makin buruk keadaannya. Aku juga naik darah kepada
pemkot yang terus-menerus memperlebar jalan hanya untuk menanggulangi masalah
kemacetan. Mereka juga tak pernah menyiram pohon-pohon di jalur hijau dan taman
kota. Tak sadarkah mereka betapa dibutuhkannya pohon-pohon bagi bumi? Tak
tahukah mereka pohon juga makhluk ciptaan Tuhan, sama seperti mereka? Alpakah
mereka bahwa mereka sebenarnya juga membutuhkan molekul-molekul oksigen?
Aku ingin menyelamatkan bumi, walau
hanya dengan tangan-tangan mungilku. Aku ingin menyelamatkan sahabatku berikut kawan-kawannya.
Namun,
bagaimana caraku memulainya? Aku berlari sepanjang perjalanan dengan tangan
kanan memanggul karung berisi penuh sampah, dan tangan kiri menggenggam
pengait. Tak kupedulikan suara-suara heran dan ledek-meledek. Kutumpahkan
sampah-sampah yang berhasil kupungut. Kuaduk mereka untuk mencari sesuatu yang
dapat berarti untuk misi penyelamatanku. Lalat-lalat sebesar kedelai
beterbangan. Ketika aku menggenggam bonggol jagung yang mulai membusuk, sebuah
ide terlintas dalam benakku.
*
Aku merasa kian rapuh. Semilir angin
menghembus lembut daun-daunku yang menguning. Hanya sedikit daun hijau pada
diriku. Itupun hijau pucat. Aku beretiolasi. Aku terus mengulang doaku siang
tadi. Kutitipkan doaku pada angin malam, bintang, peri tidur, kunang-kunang, dan
keheningan malam. Sebagian jiwaku lara dan sebagiannya lagi penuh pengharapan. Aku
berusaha melupakan perasaanku yang sendu. Raut wajah gadis itu terlukis dalam
sanubariku sepanjang malam. Kututup mataku. Sebuah memori terlintas dalam
benakku. Aku melihat diriku yang muda. Hijau dan gagah. Gadis itu bermain
kejar-kejaran bersama adiknya. Ia tersandung akarku. Adiknya sudah berlalu
sambil tertawa-tawa. Tak disadarinya bahwa kakaknya terluka. Gadis ini
terisak-isak. Tidak ada yang mendengar suaranya memanggil adiknya. Lehernya
tercekat. Ia kemudian bersandar ke tubuhku pasrah lalu tertidur. Diam-diam aku
memanggil peri pohon untuk mengobati lukanya dan memanipulasi ingatannya.
Ketika dia terbangun, ia sudah tidak ingat lagi akan kejadian sebelum ia
tertidur. Tapi dia memiliki perasaan kuat denganku. Sejak itu ia sering kemari.
Aku tersenyum mengingat momentum itu. Aku seakan merasakan ada tangan-tangan
Tuhan yang sedang bekerja. Kulantunkan puisi yang tadi kudengar yang hanya
didengar oleh seekor burung hantu hitam.
*
Aku bangun lebih pagi dari biasanya,
walaupun aku tak bisa tidur nyenyak semalam dan terlalu letih. Adikku terduduk
di sebelahku sambil menggosok matanya. Ada semangat baru yang bergejolak melalui
setiap sel darah dalam tubuhku. Nadiku berdenyut penuh gelora. Adikku menoleh,
“Jadi kan, Kak?” Aku hanya tersenyum simpul dan bergegas keluar kamar.
Untunglah adikku juga mendukung misiku walaupun sepertinya ia tak begitu yakin.
Aku menatap ke luar jendela yang masih gelap. Aku seakan melihat titik cahaya
kecil bermil-mil jauhnya dari tempatku. Kumulai hari ini dengan serumpun cinta.
*
Aku terkejut melihat dua gadis
menghampiriku. Sahabatku dan adiknya. Tapi, aku juga melihat seorang pemuda
berjalan di belakang mereka di antara semak belukar. Itu tak penting. Aku sudah
sering melihatnya setiap pagi. Mereka berdua sama-sama menenteng dua
tas
plastik. Kelihatannya berat. Aku berusaha menebak-nebak apa kiranya yang dibawa
dan apa yang akan mereka lakukan. Sahabatku mengeluarkan sebotol cairan kuning.
Ia menatapku penuh arti seraya berkata, ”Ini adalah langkah pertamaku, Sobat.
Aku tak tega melihat engkau dan kawan-kawanmu menderita. Jadi aku dan adikku
membuatkan vitamin untukmu. Semoga dengan ini kalian cepat pulih” Lalu ia tumpahkan
sedikit demi sedikit pupuk cair itu. Aku dengan cepat mengisapnya melalui
bulu-bulu akarku. Rasanya nikmat dan aku merasa kesehatanku mulai pulih.
“Tuhan, aku sampaikan rasa terima kasihku karena Engkau telah mengabulkan
doaku. Berkatilah gadis ini. Muluskanlah setiap langkah aksi penyelamatannya”
*
Aku berolahraga setiap bagi di taman
kota sebelum berangkat kerja. Aku turut prihatin melihat kebijakan pemkot yang
semena-mena terhadap pohon-pohon di kota. Taman kota yang dulunya hijau dan
indah, sekarang gersang dan suram. Aku sering mengadakan protes melalui
tulisanku. Sayangnya, tidak ada yang hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu
yang lebih berarti untuk menyelamatkannya.
Pagi ini taman sepi. Hanya ada aku
dan seorang tukang sampah. Tiba-tiba, aku melihat dua gadis dengan seragam putih
biru lusuh memanggul tas sekolah usang dan menjinjing tas plastik yang penuh
entah dengan apa. Aku merasakan gelora semangat mereka menyeruak melewati udara
pagi. Aku mengikuti mereka diam-diam. Aku melihat mereka berhenti di bawah
sebatang pohon mahoni. Aku tercengang mendengar perkataan gadis yang paling
tua, ”Ini adalah langkah pertamaku, Sobat. Aku tak tega melihat engkau dan
kawan-kawanmu menderita. Jadi aku dan adikku membuatkan vitamin untukmu. Semoga
dengan ini kalian cepat sembuh” Aku
melihat gadis itu menuangkan cairan kuning itu yang kupahami sebagai pupuk yang
diolah dari sampah organik. Mereka berlalu dan menghilang di balik tikungan
jalan. Aku mengerling ke pohon itu. “Kau beruntung memiliki sahabat yang sangat
peduli padamu” Aku berlalu dengan senyuman merekah. Siapa sangka seorang gadis lusuh
sangat peduli dengan lingkungannya? Sementara banyak orang berpenampilan mewah,
berpendidikan, tapi semena-mena. Mereka membersihkan rumahnya dengan sangat
cermat dan menenteng sampah dan membuangnya sembarangan di sungai, di bawah
pohon, dan berperilaku jorok. Kapan mereka akan sadar?
*
Aku tak hentinya melakukan
penghijauan. Aku sering menanam biji-biji yang kudapatkan dari buah busuk yang
kupulung. Aku tidak hanya menanamnya di rumah, tapi juga di dekat sahabatku
agar dia tidak kesepian. Setiap pagi, aku dan adikku menyiram mereka atau
memberi pupuk. Kami selalu melakukannya pada pagi hari sebelum taman kota
ramai. Hanya ada tukang sampah dan satu atau dua orang yang berolahraga. Tiap
sepulang dari memulung, aku selalu membuat pupuk cair bersama adikku, Leni.
Sebagian kami jual kepada kios Bu Ani. Sebagiannya kami simpan untuk persediaan.
Uang penghasilan dari menjual pupuk kami berikan kepada ayah dan bunda. Mereka
sangat bangga kepada kami. Mereka selalu berpesan kepada kami untuk gigih
menggapai cita-cita dan menyelamatkan bumi kita yang makin hilang rona
hijaunya. “Terus berkarya dan gigih berkerja, Nak. Jangan pula lupakan sekolah
kalian. Ayah selalu mendukung kalian”, pesan ayah. Bunda juga mendoakan,
“Semoga kalian bertumbuh menjadi anak-anak yang berguna bagi bangsa dan negara.
Kembalikan lagi semburat warna hijau bumi kita”
Ayah tak jarang membantu kami
membantu membuat pupuk bila ada waktu senggang. Bunda juga makin rajin
membesarkan pohon-pohon yang aku dan Leni tanam untuknya. Tidak hanya pupuk
yang kami buat. Aku membuat bunga dari kapas popok yang dikeringkan. Aku pernah
membacanya di koran yang telah dibuang di tempat sampah. Leni juga rajin
membuat mainan dari kaleng-kaleng minuman bekas. Kami pun menjualnya di toko
mainan. Sampah-sampah itu menjadi rupiah.
*
Aku turut bersuka cita untuk sabahatku
yang makin akrab dengan alam. Sekarang, aku sering melihatnya memulung sampah
bersama adiknya di sekitar sungai yang melewati kota ini. Perlahan tapi pasti,
kecantikan sungai ini kembali menyeruak. Sebelumnya, memang warga yang tinggal
di sekitar sungai itu mencibirnya. Namun, perlahan mereka mulai sadar. Siang
ini, aku melihat mereka membantu sababatku membersihkan sungai itu. Sungai itu
begitu gembira. Suara percikan airnya begitu menggelitik telinga. Aku dan
kawan-kawanku histeris melihat kecantikan sungai itu. Airnya yang sekarang
perlahan jernih memantulkan semburat sinar matahari jingga yang sangat cantik.
Aku melihat sunggingan senyum gadis itu menghiasi binar wajahnya.
Aku
sendiri merasa kesehatanku mulai pulih karena dirawat secara rutin oleh sahabatku.
Dari ujung-ujung jemariku tumbuh sepucuk daun harapan. Aku selalu mengucapkan
syukurku kepada Yang Maha Kuasa. “Tuhan, aku tahu Kau selalu memberkati
anak-anak yang peduli kepada sesama makhluk ciptaanmu. Berkatilah dia seperti
yang telah diimpikannya”
Sungai
itu tak hentinya berceloteh tentang kegembiraannya dan kecantikannya yang
sempat lenyap. Ia tak lupa bersyukur kepada Tuhan. Aku juga menitipkan rasa
terima kasihku kepada kawan-kawanku yang telah bersama-sama mendoakan sahabatku
itu melalui murai-murai.
*
Kulangkahkan kakiku ke sungai.
Beriak airnya memantulkan sinar mentari yang baru saja terbit. Kurasakan
baluran cinta udara pagi menyejukkanku dan mendorongku untuk terus melangkah ke
tempat tujuanku. Ia bukan sungai nestapa yang dahulu. Dia bak kekasihku.
Aku telah tiba ke tempat tujuanku.
Kusapa gadis yang kira-kira sebaya denganku, “Selamat pagi, Ana. Hari yang
cerah, ya” Dia tersenyum lebar ketika melihatku. Ia langsung berlari
menghampiriku. “Selamat pagi juga, Sobat. Ada apa gerangan engkau datang
pagi-pagi begini?”, sahutnya. Aku merangkulnya dan merogoh sebuah kantong dari
karung goni yang diikat dengan rafia merah. “Aku ingin kalian menanamnya. Jika
mereka sudah bertambah dewasa, mereka akan menambah kecantikan sungai ini dan
memberikan keteduhan untuk kalian. Dikau bisa melihat pohon mahoni yang di
sebelah sana itu? Ya, yang itu. Dia adalah sahabatku. Aku sering curhat kepadanya.
Aku senang dia mulai sehat sekarang”
Sambil mengucapkan terima kasih,
teman baruku itu berlari ke rumahnya sedangkan aku menapaki jalan yang beraspal
melintasi jembatan. Aku melongok ke bawah dan kulihat sungai itu tersenyum
penuh terima kasih yang terbentuk dari gelombang airnya yang berkilau
memantulkan sinar mentari.
*
Aku hanya bisa berdecak kagum dengan
pionir hijau cilik ini. Ia sering menanyakan kabarku. Dia terus bercerita
tentang aksi penyelamatannya dan sering mengonfirmasi tempat mana lagi yang
harus ia selamatkan. Setiap malam aku selalu menitipkan jawabanku kepada peri tidur
agar memberitahunya melalui bunga tidur. Terus-menerus kulukiskan paras
wajahnya yang manis dalam sanubariku. Tiap pagi dia selalu menyapa dan
menanyakan keadaanku. Tak lupa dia menghaturkan rasa terima kasih atas
nasihatku.
Sekarang banyak serangga yang
bermain-main di taman ini. Makin banyak spesies murai yang bernyanyi bagaikan konser
alam gratis. Aku sering melantunkan puisi yang nantinya dibawa angin. Sore ini,
seperti biasa, dia datang menghampiriku dengan membawa karung sampah seperti dan
menyandang ransel dipunggungnya. Dia memelukku erat seraya menyapaku. Aku hanya
bisa menggelengkan kepalaku pelan karena gemas. Dikeluarkannya sebuah botol
dari ranselnya. Dituangkannya ke tanah yang dengan cepat aku isap. Dia
mengelusku penuh sayang dan duduk di sisiku sambil mengerjakan tugas sekolahnya.
Kulindungi dia dari sinar ultraviolet dengan daun-daunku yang hijau dan lebat.
Seekor kupu-kupu putih bersayap lebar hinggap di rambutnya seperti sebuah
jepitan rambut. Ia tampak cantik dengan kupu-kupu itu walaupun dengan seragam
lusuhnya.
*
Kubawa kakiku menuju gubuk reyotku.
Aku tumpahkan sampah-sampah yang siang tadi aku pungut. Aku tersenyum memandang
sampah-sampah ini. “Tuhan, aku sangat berterima kasih kepadamu karena telah
memuluskan misiku. Lindungilah ciptaanmu dan sadarkan mereka yang masih belum
saling mencintai sesama makhluk-Mu”
Tiba-tiba pintu dapur menjeblak
terbuka. Adikku datang sambil besorak gembira seperti kesetanan. “Ada apa denganmu,
Leni? Hei, jangan tertawa terus! Ada apa sih?” Kuguncang tubuhnya keras-keras.
“Kakakku hebat! Kakak berhasil! Kakak Sang Pionir!”, soraknya. Aku masih tidak
mengerti. Tiba-tiba aku melihat ayah dan bunda juga berlari menghampiriku.
Mereka memelukku dengan erat. Bunda menangis terharu. Ini membuatku makin
bingung. “A.. A.. Ada ap..pa inii?”, tanyaku terbata-bata. Bunda mengelus
pundakku. Bunda mulai berbicara, “Tuhan telah memberkatimu, Nak. Ada seorang
wartawan surat kabar kemari dan memberikan penghargaan kepadamu atas semua misi
penyelamatanmu. Kamu akan masuk koran, Nak! Selain itu perusahaannya memberikan
beasiswa untukmu hingga lulus kuliah dan memberimu uang saku tiap bulannya. Bunda
sangat bangga kepadamu, Nak”, Bunda memelukku erat dalam isakan tangis harunya.
“Rumah kita juga akan direnovasi. Mereka akan menyediakan tempat khusus untuk
kita sebagai tempat mengolah sampah. Mereka juga terinspirasi untuk menanam
pohon di sekitar tempat kerja mereka. Pria itu sedang memproses pengaduan
kepada pemkot agar tidak terus menerus memperlebar jalan dan menceritakan
kegigihanmu”, tutur adikku penuh semangat. “Kamu memang dutanya alam. Ayah
bangga padamu! Kau Sang Pionir Hijau!”, sahut ayah sambil menepuk bahuku
terlalu keras. Sebuah sungai mengalir di pipiku yang memerah. “Di mana orang
itu?” Dan seketika aku terkesiap melihat seorang pria berdiri di depan pintu
dapur sambil bersandar di kusen pintu. Ia tersenyum ramah kepadaku. Ia hanya
mengatakan, “Selamat, Raisa. Kau adalah inspirasi kami”. Tak salah lagi. Dia orang
yang sering kulihat di taman kota belakangan ini. Aku menengadah ke langit.
“Tuhan, terima kasih atas semua berkah yang telah Engkau limpahkan kepada
hamba-Mu ini. Aku akan terus berjuang untuk menyelamatkan planet biru ini.
Berikan aku kegigihan dan kerendahan hati untuk menjalankan misi yang telah kau
titipkan kepadaku. Semoga dengan ini semua orang sadar, betapa mereka membutuhkan
bumi ini” Aku menoleh ke pria itu dan mengucapkan terima kasih
sedalam-dalamnya. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
*
Angin malam menghembus melalui
daun-daunku. Burung-burung berhenti berkicau yang diganti dengan hewan
nokturnal. Seekor burung hantu bertengger di lenganku sambil beruhu panjang. Namun,
tiba-tiba terdiam seakan mendengarkan sesuatu. Tiba-tiba dia menukik dan
menghujam seekor tikus yang mencicit tak berdaya. Tiga ekor kelelawar beterbangan
di taman. Laron-laron mengitari lampu-lampu taman. Seekor kucing mendengkur di
bawah kursi taman. Pohon-pohon mungil yang ditanam sahabatku sudah tidur pulas.
Titik-titik air mulai turun ke bumi secara perlahan yang sedingin es. Tiba-tiba
aku merasakan gerakan di dekatku. Aku langsung waspada. Oh, tenyata hanya gadis
sahabatku. Tapi apa yang diperbuatnya malam-malam begini? Semua hewan dan
tumbuhan berpaling kepadanya. Ia menghampiriku. Wajahnya sembab. Air matanya
memantulkan cahaya bulan yang keperak-perakan. Bahkan sungai pun menyadari kehadirannya.
Makin lama langkahnya makin cepat.
Ia berlari meghampiriku. Memelukku dengan erat sementara hujan semakin lebat. Dia
mengisahkan kejadian tadi sore dengan bersemangat. “Aku sangat beruntung bisa
mengenalmu. Aku tahu engkau selalu mendoakanku dan memberiku nasihat melalui
mimpi-mimpiku. Terima kasih atas segalanya, pohonku. Aku tak akan mungkin bisa
seperti ini tanpa butiran kata-kata doamu. Aku selalu berterima kasih kepada
Tuhan, walaupun aku tidak punya teman di sekolah, tapi aku mempunyai teman yang
sangat setia. Aku tak peduli jika kau hanya sebatang pohon tua”, isaknya. Ia
makin mendekapku dengan erat. Bajunya basah kuyup dan badannya menggigil
kedinginan. Tanpa yang ia duga, aku balas memeluknya dengan tangan-tangan
besarku. Ia sangat terperanjat. Namun, ia mendekapku makin erat. Lama kami
berpelukan sementara hujan mulai berhenti dan bintang-bintang kembali muncul.
“Aku juga beruntung mempunyai teman sepertimu. Aku yakin dengan ketegaranmu
dikau dapat melindungi bumi dengan sentuhan tangan mungilmu. Bagiku, engkau
adalah patriot hijau”, bisikku.
*
Sinar rembulan menyinari pemakaman
dengan sinar keperakannya. Wanita tua itu masih duduk di samping makam ibunya sambil
mengelus-elus batu nisan. “Engkau telah berhasil menyelesaikan misi yang
diberikan-Nya. Bahkan walikota tersentuh dengan aksimu. Ia makin rajin menanam
pohon. Sementara Bunda berbaring dengan tenang di sisi-Nya, taman kota itu
menjadi taman percontohan. Indah sekali. Berbagai spesies bunga dan warna
ditanam di sana. Kupu-kupu leluasa mengisap nektar. Kunang-kunang berpendar
indah di malam hari. Berbagai hewan malam berkeliaran dengan damai. Setiap hari
taman itu ramai dengan turis, baik turis lokal maupun turis mancanegara. Sebuah
monumen dibangun dekat pohon mahoni itu untuk memperingati jasamu. PBB
memberikan penghargaan kepada kota kita sebagai kota hijau. Walikota merasa tak
pantas untuk menerimanya. Akhirnya akulah yang menerima penghargaan itu untuk
mewakili Bunda”, gumamnya. Tanpa disadarinya bulir-bulir air mata membasahi
wajah keriputnya. “Mimpimu tak pernah tandas walaupun Bunda merasa tertekan
dengan caci maki. Semoga generasi mendatang senantisa meneladanimu”
Setelah
sekian lama, ia berdiri. “Beristirahatlah dalam damai, Bunda. Semoga engkau
bahagia di alam-Nya”, kata wanita itu dan berlalu meninggalkannya. Aku pun
merasa tersentuh dan kembali ke pohon tempat tinggalku tanpa suara. Angin
bertiup tenang dan sejuk. Aku merasakan pemakaman itu penuh dengan kisah
inspirasi. Sementara wanita tua itu berlalu, aku melihat seorang wanita cantik
dengan gaun hijau panjang yang indah sekali. Mahkota bunga menghiasi kepalanya.
Senyumnya mengikuti kepergian wanita itu hingga menghilang di tikungan jalan.
Diakah Dewi kahyangan kami yang sudah kukenal sejak lampau?
Bulir air memantulkan nuansa hijau
Kureguk dengan tangan mungil penuh nikmat
Meninggalkan bayangan sesepuh di berkas
delta
Sekutu kupu-kupu putih menjelajahi
tubuh renta
Menyisakan sebaris nama kenangan
Dari sekawanan waktu ke waktu
ga cape ngetik segitu bnyk?
BalasHapusGa juga. Kan tinggal copas dari Ms.Word
HapusKeren mett..
BalasHapusIdenya bagus, maknanya dalem,
You're gonna be a great writer sis ^^
Thumbs Up (Y)
Hehehehe...... Thanks a lot, naw ;)
HapusYou too :D