Minggu, 06 April 2014

SURAT CINTA UNTUK BUNDA

Mataram, 22 Desember 2013
       Kepada Bundaku tercinta     
Baluran Cintamu Mengubahku dari Biasa Menjadi Bisa

Kurasakan baluran cintamu sepanjang waktu
Hangat, tentram, dan mendamaikan
Yang tidak akan pernah berakhir untuk selamanya
Yang tak dapat ditukar dengan apapun jua
Sekali pun aku mampu
Membangun butiran pasir menjadi gunung
                Tak dapat kubayangkan, bagaimana rasanya  menjadi dirimu, Bunda? Torehan demi torehan rasa sakit dan nyeri menderamu di kala melahirkanku. Wajah letih dihiasi senyum kebahagiaan setelah aku lahir. Menyusuiku untuk menghilangkan lapar dan dahagaku. Saat aku beranjak balita, aku mencoret-coret tembok rumahku yang baru selesai dicat. Tidak hanya tembok, tapi juga seprai, bantal, guling, lemari, dan meja. Kutorehkan semua ekspresiku melalui spidol, pensil, dan krayon. Aku bahkan tidak merasa bersalah. Namun, Bunda tetap tersenyum bangga. Menampakkan kepuasan seperti orang yang baru menemukan harta karun terpendam yang saat itu tak dapat kumengerti. Bahkan Bunda terus membelikanku krayon, spidol, pensil, dan pensil warna.
Saat aku mulai sekolah, Bunda bangun subuh-subuh untuk menjadi koki. Memasak makanan untuk keluarga demi menciptakan energi baru untuk memulai hari yang baru. Bunda selalu mengecup pipiku sebelum aku berangkat sekolah seraya berkata, “Baik-baiklah di sekolah. Belajar yang rajin, Nak. Capailah mimpimu seperti  meraup butiran pasir” Ketika aku pulang sekolah, Bunda selalu menyambut dengan senyum manis seraya bertanya, “Bagaimana harimu di sekolah?” Dengan sabar Bunda mendengarkan kisahku. Ketika aku menceritakan kisah gembiraku, Bunda juga turut berbahagia. Dikala aku terpuruk, Engkau berusaha menyejukkan hatiku dengan kata-kata penuh motivasi.
                Saat malam tiba, Bunda  menjadi guruku yang paling setia. Menungguiku hingga aku selesai belajar dan menjawab semua pertanyaan kekanak-kanakanku. Bunda juga bagaikan guru asronomi yang menunjukkan berbagai rasi bintang padaku. “Ananda tidak akan pernah tersesat jika memperhatikan lukisan rasi bintang Sang Pencipta. Lihatlah rasi bintang Orion. Ekor kalajengkingnya selalu menunjuk ke arah barat”
                Bunda tidak pernah alpa tentang minat dan bakatku. Engkau selalu yakin aku dapat meraih cita-citaku. Bunda selalu mendukung cita-citaku menjadi pelukis ternama. Aku ingin seperti Leonardo da Vinci. Kadang kala, aku merasa tidak mungkin meraih cita-citaku yang begitu tinggi. Aku merasakan dunia seakan meledekku. Tertawa terbahak-bahak yang menggema dan bergaung di seluruh jagad raya. Berbagai cemooh dan caci maki melandaku bagai tsunami.
Sungguh menyesakkan hatiku. Aku merasa demikian kerdil. Apakah Bunda salah? Mungkinkah Bunda hanya bercanda? Yang jelas Bunda tidak mungkin berdusta. Saat dimana posisiku berada di titik nol. Bunda datang dengan baluran cinta yang terasa hangat dan tentram. Alunan kata-kata penyejuk hati telah mendamaikan hati kecilku. Sorotan matamu yang jernih menatapku penuh arti. Sulit kulukiskan diatas kanvas. Semangat juangmu bergelora melalui denyut nadimu hingga mengalir ke jiwaku. Dan aku bangkit kembali menegakkan kepala. Siap bekerja keras meraih mimpi! Dari belakang, Bunda memberiku energi positif yang sangat berarti untukku agar maju.
                Kini, aku dikenal sebagai pelukis cilik. Meskipun aku sadar aku belum meraih cita-citaku seutuhnya. Dan aku yakin dengan cinta Bunda aku bisa melahirkan karya-karya yang lebih baik esok. Aku sering merenungkan, bagaimana aku tanpa Bunda? Ananda bukanlah siapa-siapa. Bunda benar-benar memahamiku. Andai saja Bunda menyembunyikan semua alat tulisku agar aku tidak mencoret-coret, tentu aku tidak akan bisa berekspresi menemukan minat dan bakatku. Bunda mengubahku dari aku yang biasa menjadi bisa! Terima kasih Bundaku tercinta.
                Tuhan, kupanjatkan puji syukur kehadirat-Mu atas karunia yang terindah yang kau berikan padaku. Terima kasih Engkau telah memberikanku Bunda yang hebat. Berilah berkah panjang umur dan kesehatan yang baik sehingga kelak aku dapat membahagiakan Bunda.
Peluk Cium Ananda,



Metta Alvionita Heriyanto

1 komentar: