Mataram, 22 Desember
2013
Kepada Bundaku
tercinta
Baluran Cintamu Mengubahku
dari Biasa Menjadi Bisa
Kurasakan baluran cintamu sepanjang waktu
Hangat, tentram, dan mendamaikan
Yang tidak akan pernah berakhir untuk selamanya
Yang tak dapat ditukar dengan apapun jua
Sekali pun aku mampu
Membangun butiran pasir menjadi gunung
Tak
dapat kubayangkan, bagaimana rasanya
menjadi dirimu, Bunda? Torehan demi torehan rasa sakit dan nyeri
menderamu di kala melahirkanku. Wajah letih dihiasi senyum kebahagiaan setelah
aku lahir. Menyusuiku untuk menghilangkan lapar dan dahagaku. Saat aku beranjak
balita, aku mencoret-coret tembok rumahku yang baru selesai dicat. Tidak hanya
tembok, tapi juga seprai, bantal, guling, lemari, dan meja. Kutorehkan semua
ekspresiku melalui spidol, pensil, dan krayon. Aku bahkan tidak merasa
bersalah. Namun, Bunda tetap tersenyum bangga. Menampakkan kepuasan seperti
orang yang baru menemukan harta karun terpendam yang saat itu tak dapat
kumengerti. Bahkan Bunda terus membelikanku krayon, spidol, pensil, dan pensil
warna.
Saat aku mulai
sekolah, Bunda bangun subuh-subuh untuk menjadi koki. Memasak makanan untuk
keluarga demi menciptakan energi baru untuk memulai hari yang baru. Bunda
selalu mengecup pipiku sebelum aku berangkat sekolah seraya berkata,
“Baik-baiklah di sekolah. Belajar yang rajin, Nak. Capailah mimpimu
seperti meraup butiran pasir” Ketika aku
pulang sekolah, Bunda selalu menyambut dengan senyum manis seraya bertanya,
“Bagaimana harimu di sekolah?” Dengan sabar Bunda mendengarkan kisahku. Ketika
aku menceritakan kisah gembiraku, Bunda juga turut berbahagia. Dikala aku terpuruk,
Engkau berusaha menyejukkan hatiku dengan kata-kata penuh motivasi.
Saat
malam tiba, Bunda menjadi guruku yang
paling setia. Menungguiku hingga aku selesai belajar dan menjawab semua
pertanyaan kekanak-kanakanku. Bunda juga bagaikan guru asronomi yang
menunjukkan berbagai rasi bintang padaku. “Ananda tidak akan pernah tersesat
jika memperhatikan lukisan rasi bintang Sang Pencipta. Lihatlah rasi bintang
Orion. Ekor kalajengkingnya selalu menunjuk ke arah barat”
Bunda
tidak pernah alpa tentang minat dan bakatku. Engkau selalu yakin aku dapat
meraih cita-citaku. Bunda selalu mendukung cita-citaku menjadi pelukis ternama.
Aku ingin seperti Leonardo da Vinci. Kadang kala, aku merasa tidak mungkin
meraih cita-citaku yang begitu tinggi. Aku merasakan dunia seakan meledekku. Tertawa
terbahak-bahak yang menggema dan bergaung di seluruh jagad raya. Berbagai
cemooh dan caci maki melandaku bagai tsunami.
Sungguh
menyesakkan hatiku. Aku merasa demikian kerdil. Apakah Bunda salah? Mungkinkah
Bunda hanya bercanda? Yang jelas Bunda tidak mungkin berdusta. Saat dimana
posisiku berada di titik nol. Bunda datang dengan baluran cinta yang terasa
hangat dan tentram. Alunan kata-kata penyejuk hati telah mendamaikan hati
kecilku. Sorotan matamu yang jernih menatapku penuh arti. Sulit kulukiskan
diatas kanvas. Semangat juangmu bergelora melalui denyut nadimu hingga mengalir
ke jiwaku. Dan aku bangkit kembali menegakkan kepala. Siap bekerja keras meraih
mimpi! Dari belakang, Bunda memberiku energi positif yang sangat berarti
untukku agar maju.
Kini,
aku dikenal sebagai pelukis cilik. Meskipun aku sadar aku belum meraih
cita-citaku seutuhnya. Dan aku yakin dengan cinta Bunda aku bisa melahirkan
karya-karya yang lebih baik esok. Aku sering merenungkan, bagaimana aku tanpa
Bunda? Ananda bukanlah siapa-siapa. Bunda benar-benar memahamiku. Andai saja
Bunda menyembunyikan semua alat tulisku agar aku tidak mencoret-coret, tentu
aku tidak akan bisa berekspresi menemukan minat dan bakatku. Bunda mengubahku
dari aku yang biasa menjadi bisa! Terima kasih Bundaku tercinta.
Tuhan,
kupanjatkan puji syukur kehadirat-Mu atas karunia yang terindah yang kau
berikan padaku. Terima kasih Engkau telah memberikanku Bunda yang hebat.
Berilah berkah panjang umur dan kesehatan yang baik sehingga kelak aku dapat
membahagiakan Bunda.
Peluk Cium Ananda,
Metta Alvionita
Heriyanto
wih metta
BalasHapus