Seuntai
Doa, Secangkir Harapan
Aku
duduk di dahan pohon rambutan di pekarangan rumahku. Kugoreskan pensil di atas
kertas putih yang lusuh. Kemudian aku menatap ke dahan di sebelah kananku. Aku
melihat bayi-bayi burung di sebuah sarang. Kemudian kupalingkan muka ke kertas
lagi. Kembali kugoreskan pensil. Saat sedang asyiknya, tiba-tiba ada suara yang
memanggilku, “Anne, di mana kau?”
Itu
suara kakakku. “Aku di pohon”, sahutku. Kudengar langkah kakakku bergegas
kemari. “Sedang apa kau di sana?”, tanya kakakku dari bawah. “Cuma sedang
menggambar burung”, jawabku dengan santai. “Tunggu! Aku mau lihat,” seru
kakakku sambil memanjat dengan cekatan. “Wah, lucunya! Bagaimana kamu bisa
menemukannya?”, tanya kakakku sesampai di atas. “Secara kebetulan saja. Aku
sedang menyapu, tiba-tiba kudengar suara burung berkicau. Lalu aku memanjat
pohon ini. Aku melihat ada induk burung ini. Sejak itu aku sering ke sini. Pagi
itu, aku melihat si betina sedang mengerami telurnya. Aku senang sekali waktu
itu. Makin rajin aku datang ke sini. Tadi pagi kulihat anak-anaknya sudah
menetas. Lalu muncul ide untuk menggambar mereka”, jawabku sambil terus menggoreskan
pensil. Kakakku menatap bayi-bayi burung itu. “Mengapa kamu tak pernah cerita?
Kamu kan tahu aku senang pada satwa.”
“Yah,
waktu itu aku takut burung-burung ini merasa terganggu. Maaf, deh. Lain kali
aku akan cerita”, kataku sambil memandang kakakku yang jangkung itu. Kakak
hanya tersenyum. Dia melirik gambarku. “Mirip sekali gambarmu dengan mereka.
Aku heran mengapa teman-temanmu selalu mencemooh gambarmu?” Aku menghela nafas
panjang, lalu melanjutkan gambarku. “Mereka menganggap orang tak mampu seperti
kita tak pantas dihargai. Kakak kan tahu sendiri. Tapi untungnya guru-guru di
sekolah selalu membesarkan hatiku. Tapi tetap saja tidak enak berada di kelas
yang tidak ramah. Mungkin gambarku memang jelek!”
Kakak
merangkul bahuku. “Sudahlah, dik. Tuhan sedang menunjukkan jalan yang terang
buatmu. Buktinya kamu bisa dapat beasiswa dari sanggar seni milik Om Nyoman. Padahal kamu
hanya sedang melukis di taman kota yang tidak tahu ternyata sedang berlangsung
lomba lukis, lalu Om Nyoman tak sengaja melihat gambarmu dan bercerita ke yang
lain. Beberapa hari kemudian Om Nyoman datang dan mengatakan akan memberikanmu
beasiswa untuk bersekolah di sekolah terbaik di kota ini. Kau beruntung sekali
mempunyai talenta yang hebat!” Kakak menggenggam tanganku. “Jangan cemas. Kami
akan selalu mendukungmu.” Aku hanya tersipu.
“Itu
suara Ibu memanggil kita. Yuk!” ajak Kak Andi. “Kami datang, Bu!”, seru Kak
Andi. “Kemana saja kalian?”, tanya ibu. “Om Nyoman sudah menunggu kalian sejak
tadi.” Aku terperanjat. Aku langsung menemui laki-laki yang duduk di kursi
rotan itu. “Sore, Om”, ucapku seraya menyalami Om Nyoman. “Halo, Anne. Di mana
kakakmu? Oh, itu dia. Bagaimana kabar kalian di sekolah?” “Nilaiku lumayan.
Tapi teman-teman masih menjauhiku.” Aku menyeletuk.
“Kamu
tidak boleh menyerah! Mungkin mereka hanya iri saja. Kamu jangan pernah
berhenti menggambar. Saya yakin kelak kamu akan menjadi pelukis ternama!” kata
Om Nyoman. “Mmm... Om memangnya ada perlu apa kemari?” tanya Kak Andi. Om tersenyum,
“Om ke sini untuk mengabarkan ada Lomba Lukis Remaja Berbakat Nasional atau
biasa disingkat L2BHN. Jika kamu bisa lolos di tingkat kecamatan, kota, dan
provinsi, kamu akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia. Di sana kamu diadu
lagi dengan peserta lain. Menurut Om, gambarmu itu sudah tidak hanya layak
untuk diikutkankan lomba tetapi memiliki nilai seni yang tinggi. Tapi, jika
Anne mau menambah pengalaman, mencari teman baru, dan melihat kemampuan
anak-anak lain, tak ada salahnya mengikutinya,” jelas Om Nyoman dengan penuh
senyum.
“E,
e, e, Om. Aku tidak punya alat mewarnai yang memadai. Krayonku sudah
pendek-pendek. Kertas yang kupakai biasanya kertas bekas. Pasti kalah dengan
anak-anak yang alat-alatnnya mahal! Aku tidak yakin bisa menjadi juara”, kataku
setelah beberapa saat sambil terbata-bata. Ibu menghampiriku dan mengelus
rambutku. “Nak, jika kamu ingin ikut, ibu akan mendukungmu sepenuhnya.” Kak
Andi menyeletuk, “kalah dan menang itu tak masalah. Lagi pula, itu tidak akan
menghilangkan talentamu. Tidak semua orang bisa menggambar sepertimu, lho! Maksudku
mau menggambar kucing, eh, jadi lebih mirip sapi!” Semua yang ada di ruangan
ini tertawa mendengar leluconnya.
“Pokoknya
ibu berusaha sekuat-kuatnya agar kamu bisa berhasil,” kata ibu sambil
menggenggam tanganku. “Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tidak tega melihat
ibu membanting tulang hingga tengah malam untuk membelikanku alat-alat lukis.”
Aku sudah hampir menangis saja melihat ibuku yang lembut hati. Bagaimana jika
aku kalah? Kasihan ibu sudah bekerja keras, tapi hasilnya nanti tidak ada.
“Ibu
kan sudah tidak perlu lagi membiayaimu sekolah. Selalu saja ada sisa dari
pendapatan ibu. Pokoknya biar kalah ibu tetap bersyukur karena memiliki anak yang
hebat!” jawab ibuku tersenyum. “Om, juga akan membimbingmu.” ujar Om Nyoman sambil tersenyum. “Kakak juga akan
membantu dengan uang tabungan kakak. Ini kesempatan yang baik buatmu. Kami
semua selalu mendukungmu. Kakak yakin suatu hari nanti kamu pasti berhasil.”
Aku
terharu mendengarnya, “Terima kasih semuanya. Aku akan berusaha semampuku”, tekadku.
“Nanti Om daftarkan kamu. Mulai besok jam tiga tepat Om akan datang untuk
melatihmu.”
Malam
ini aku susah tidur. Perasaan senang bercampur bingung. Senang karena bisa
diajari melukis oleh Om Nyoman, tapi juga bingung karena ibu harus membanting
tulang lebih keras lagi untuk membelikanku alat-alat. Aku bisa mendengar suara
mesin jahit dari ruang duduk. Entah sampa kapan ibu begini. Aku bertekad suatu
hari nanti aku akan membahagiakan ibu. Aku berdoa, “Tuhan, muluskanlah jalanku.
Bawalah aku dengan tangan-tangan sucimu sehingga aku bisa berhasil.”
Aku
selalu bangun mendahului matahari. Pergi sekolah sendiri. Setelah itu, pulang
sekolah segera berganti pakaian dan makan siang. Pekerjaan rutin ibu kuambil
alih. Menyapu, mencuci piring, menyikat baju dan menjemurnya, serta memberi
makan ayam. Aku berangkat bersama Kak Andi untuk mengantarkan pakaian pesanan
yang dijahit ibu. Jika kebetulan bertemu dengan teman di jalan aku dan Kak Andi
sering diejek, tapi tak pernah kami acuhkan.
Setiap
sore Om Nyoman datang untuk mengajariku. Makin hari aku terus memiliki
kemajuan. Dia memberiku krayon baru. Tidak cuma itu saja. Dia juga memberiku
cat, kuas, dan palet. Aku senang. Aku bertekad akan membalas budinya kelak.
Lomba
semakin dekat. Sesekali aku latihan hingga tengah malam. Ibu selalu menemaniku
sambil menjahit. Kasihan ibu. Dia kurang istirahat.
Saatnya
lomba. Pertama, aku harus mengikuti seleksi kecamatan dan di tingkat kota. Aku selalu
mendapat peringkat teratas. Ibu tak pernah absen mendampingiku setiap
seleksinya. Hingga akhirnya seleksi provinsi yang menentukan siapa yang akan pergi
ke Istana Pelukis Cilik Indonesia. Hatiku berdebar-debar. Tapi perasaan itu
tidak mengganggu konsentrasiku. Ibu duduk di kursi yang disediakan panitia.
Waktu selesai. Aku telah menyelesaikan lukisanku yang bertema Budaya Indonesia itu.
Pengumuman pemenang akan diberitahukan minggu depan.
Esoknya
aku masih melukis. Aku berharap aku bisa menang untuk membanggakan ibu dan
kakak. Tapi pengumuman yang dijanjikan tak kunjung tiba. Padahal sudah lewat
dua minggu. Aku duduk di atas pohon sambil memperhatikan burung-burung yang
pernah kugambar. Anak-anak itu bertambah besar. Mungkin sebentar lagi akan
belajar terbang. Sekonyong-konyong dari bawah terdengar suara kakak memanggilku.
“Dik, ada kabar dari Om Nyoman tadi!” Dengan cekatan aku turun dari atas pohon.
“Ada
apa? Mana Om?”, tanyaku. “Tadi Om Nyoman kemari membawa kabar saat kakak sedang
membuang sampah, tapi cepat-cepat pergi. Katanya dia mau bertemu seseorang. Dia
juga bilang tidak bisa mengajarimu nanti”, jawab Kak Andi. “Selamat, Anne. Kamu
juara 1! Kamu akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia.”
Aku
hanya terpaku di tempat seperti orang tolol. Tiba-tiba aku melonjak-lonjak
seperti orang gila. Aku tidak bisa menahan kegembiraanku. Setelah reda barulah
aku bisa berbicara. “Benarkah itu? Dari mana Om tahu? Aduh, seperti sedang
mimpi saja. Kamu tidak sedang mempermainkanku kan? Jika ternyata begitu akan
kusiram dengan air!”
Kak
Andi tertawa cekikikan melihat tingkahku. “Tentu saja aku serius! Kau pikir aku
ini apa? Katanya, Om dengar dari temannya. Semua orang juga sudah tahu. Hanya
saja pengumuman resminya belum keluar.”
Malam
ini aku tidur nyenyak. Aku bermimpi pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia
dengan pesawat terbang. Keesokan paginya, saat di sekolah, guru-guru
mengucapkan selamat padaku, bahkan teman-temanku yang biasanya menjauhiku lain
sekali sikapnya. Mereka lebih ramah terhadapku. Mereka tidak lagi mengejekku
ataupun mencemooh gambarku. Segala pandangan mereka padaku berubah.
Dua
minggu kemudian, saat aku masih belajar di kelas, tiba-tiba ibu guru
memanggilku. Katanya, aku dipanggil kepala sekolah. Aku berjalan ke ruang
kepala sekolah dengan gelisah. Perasaanku tidak enak. Ada apa ini? Tiba-tiba
aku menggigil.
Saat
masuk aku disambut dengan ramah oleh kepala sekolah. “Nah, Anne! Tentu kamu
sudah tahu bahwa ada kabar yang mengatakan bahwa kamu juara 1 kan?”, katanya
sambil tersenyum dengan sinar mata aneh. Aku menggigit bibirku sambil
mengangguk pelan. “Nah, kabar itu memang benar. Ini baru saja suratnya sampai.
Kalau tidak percaya kamu bisa membacanya”, katanya sambil menyodorkanku secarik
kertas. Aku membaca surat itu. Di situ tertulis bahwa aku mendapat juara 1 L2BHN
tingkat provinsi, tapi tidak ada keterangan bahwa aku akan dikirim ke Istana
Pelukis Cilik Indonesia.
“Apakah
aku akan pergi ke Istana Pelukis Cilik Indonesia?”, tanyaku. Tiba-tiba kulihat
raut wajah beliau yang tadinya riang menjadi suram. “Maaf, Nak. Saya tadi
menanyakan ke dinas apakah benar dengan begitu kamu pergi ke sana. Ternyata
tidak. Yang pergi hanya juara dua. Katanya ingin memberi kesempatan kepada anak
yang lebih besar karena kamu dianggap masih terlalu kecil untuk ke sana. Bapak
sudah berusaha agar keputusan itu diubah, tapi ternyata anak itu sudah berangkat
dua hari yang lalu.”
Tiba-tiba
aku merasakan sesuatu yang hangat di rongga mataku. Aku menangis tersedu-sedu di
ruang kepala sekolah. Tak dapat lagi kubendung air mataku yang telah meleleh
membasahi muka. Bu guru yang tadi memanggilku menghiburku. Ia merangkul dan
mengajakku keluar. Aku masih menangis sampai mataku merah. “Jangan kecil hati.
Kamu harus kuat. Lain kali bisa dicoba lagi”, kata bu guru dengan lembut. Aku
masih menangis sampai di kelas. Temanku mengelelingiku. Mereka menghibur dan
membesarkan hatiku. Tapi tetap saja tidak bisa menghibur hatiku yang lara.
Sia-sia semua usahaku. Perasaanku saat ini kacau. Hatiku serasa ditikam-tikam
pisau. Mengapa nasib begini kejam? Kalau ternyata kabar itu salah itu tak
masalah bagiku. Tapi ini sudah jelas-jelas aku juara satu mengapa juara dua
yang pergi? Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres. “Tabahkanlah aku, Tuhan..”
Saat
berjalan pulang ke rumah aku masih terisak. Di tengah jalan aku bertemu dengan
Kak Andi yang juga sedang berjalan pulang. “Lho, mengapa kamu menangis, dik?
Ada yang mengganggumu?”, tanya Kak Andi prihatin. Lalu aku menceritakannya
sambil berjalan. “Entah jika tahun depan aku ikut lagi apa yang akan dikatakan
lagi supaya aku tidak ke sana. Pokoknya aku mau berhenti ikut lomba!”, tukasku.
Kak Andi kaget mendengar kata-kataku. “Kau jangan seperti itu. Kalah menang
sama saja. Lagi pula..” Belum selesai dia bicara aku langsung menjerit,
“Pokoknya tidak ada yang bisa menghentikan tekadku!” Aku langsung lari masuk ke
rumah. Semua orang memandang kami dengan heran. Kak Andi mengejarku. Aku lari
masuk ke kamar dan menguncinya. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku
menangis terisak-isak sampai bantalku basah. Terdengar suara Kak Andi masuk ke
rumah dan bergegas ke kamarku. Dia mengetuk pintu, “Dik, buka pintunya.” Tapi
aku hanya diam saja. Dari balik pintu terdengar suaranya menghela napas
panjang. Aku masih terisak.
Lima
belas menit kemudian ada suara orang mengetuk pintu. “Nak, ayo makan. Makanan
sudah siap.” Itu suara ibu. “Aku masih kenyang”, jawabku sambil terisak.
“Bukalah pintumu, Nak”, ujar ibu dari balik pintu. Tapi aku diam saja.
Terdengar suara ibu menghela napas panjang dan melangkah pergi. Aku merenungi
nasibku. Aku berjalan menuju jendela. Kulihat pohon tempat biasanya aku
memperhatikan burung. Timbul niatku untuk keluar dan pergi ke atas pohon.
Aku
membuka jendela kamar lalu meloncat ke tanah. Aku berjalan mengendap-endap ke
pohon lalu memanjatnya. Aku melihat bayi-bayi burung itu berciap-ciap memanggil
induk mereka. Lama sekali aku berada di atas pohon. Sampai aku melihat seorang pengendara
sepeda motor berhenti di depan rumah. Itu Om Nyoman! Kuperhatikan dia berjalan
masuk ke pekarangan. Lalu mengetuk pintu depan. Terlihat kakak membukakan pintu
lalu mengajaknya masuk. Mungkin setelah ini mereka akan mencariku. Kakak pasti
tahu di mana seharusnya mencariku jika aku tidak ada di kamar. Aku bergegas
masuk ke kamar melalui jendela, lalu menutupnya. Aku juga menarik gorden
menutupi jendela. Tepat saat itu aku mendengar suara bercakap-cakap di luar.
“Aku
menyesal memberi tahu kabar itu, Bu. Seharusnya aku memastikan dulu kabar itu
benar atau tidak”, kata Om Nyoman. “Berita itu memang benar, Pak. Tapi
sayangnya bukan Anne yang pergi ke tingkat nasional. Ini kesalahan panitia!
Tadi Anne tidak mau makan siang karenanya. Mudah-mudahan nanti malam dia muncul.
Coba kau panggil dia, Ndi. Katamu dia biasa berada di atas pohon”, kata ibu.
Terdengar suara Kak Andi memanggil-manggilku. “Ke mana lagi anak itu?”, tanya
ibu cemas. “Nanti pasti muncul. Ibu tidak perlu cemas. Saya pamit dulu, Bu”,
ujar Om Nyoman. Masih terdengar suara kakak memanggil.
Aku
mandi dengan air dingin. Sedingin perasaanku. Sambil mengguyur badan dengan air
aku masih merenungi kejadian ini. Saat keluar, aku bertemu Kak Andi. “Ke mana
saja kau? Ibu sampai cemas memikirkanmu”, tanya Kak Andi. Tapi aku diam saja.
“Tuhan,
berikanlah hamba-Mu kesabaran dalam menghadapi cobaan ini. Berikanlah ketabahan
untuk terus berkarya. Jangan biarkan aku ini terpuruk dalam kelaraan”, doaku.
Hari-hari
selanjutnya aku berusaha tegar. Walau masih teringat kejadian yang mengecewakan
itu, aku tidak ingin ibu sedih melihatku. Karena itu aku melewatkannya dengan
melukis. Om Nyoman masih mengajariku. Tak jarang Om menawarkanku berbagai macam
kompetisi. Tapi selalu kutolak dengan halus. Aku tidak berminat dengan lomba
lagi, tapi aku ingin tetap melukis. Makin hari, makin banyak lukisanku. Baik
yang kertas maupun kanvas. Kamarku penuh dengan lukisan. Sampai-sampai sebagian
kutitipkan di kamar Kak Andi. Lukisanku kebanyakan menggunakan pewarna alami
yang kubuat sendiri. Ada yang dari kunyit, kembang sepatu, daun, dan masih
banyak lagi. Aku sering bereksperimen dengannya. Lukisanku juga kubuat lebih
ekspresif dan tanpa beban karena tidak terikat dengan tema-tema lomba. Aku juga
membuat formula warna yang kuberi nama Formula Violeta. Dengan formula ini aku
bisa melukis laut dalam yang indah sekali. Begitu pula jika aku mencampurnya
dengan putih akan menghasilkan langit biru yang kemilau.
Aku
juga sering menggambarkan perasaan hatiku. Di saat aku senang aku sering
menarikan kuas untuk menggambarkan perasaanku. Jika hatiku sedang lara atau sedang
jengkel, aku selalu menumpahkannya di lukisanku. Aku sering mengajari anak-anak
jalanan dan murid-murid Om Nyoman melukis dengan bahan alami. Bahkan aku
menyulap halaman rumahku menjadi tempat kursus melukis gratis untuk anak-anak
jalanan dan yatim piatu. Awalnya aku gugup untuk menjelaskan bagaimana cara
membuat warna-warna alami ini. Tapi seiring berjalannya waktu aku sudah
terbiasa. Formulaku bisa di taruh di mana saja, bahkan semakin terpapar sinar
matahari lukisanku makin berkilau.
Namun,
banyak pelukis lokal yang tidak suka dengan terobosan baruku. Mereka
menganggapku gadungan. Aku dianggap telah merusak keindahan seni rupa. Om
Nyoman bahkan diancam untuk membubarkan kursus ini. Tapi Om tetap
mempertahankan dan melindungiku. Aku sampai merasa tidak enak dengan Om. Aku
juga tidak dianggap pelukis cilik di sini. Karena itu aku sering naik ke atas
pohonku untuk menghibur diri.
Siang
ini ada seorang pelukis yang datang ke rumahku mengancam agar membubarkan
kursus gratisku yang dianggapnya konyol. Tapi aku tak kalah gertak. Aku melawan
segala pendapatnya. Kak Andi dan ibu juga membelaku. Pelukis itu marah besar.
Matanya melotot seperti katak hingga timbul perasaan bola matanya bisa keluar
dari rongganya. Dia meninggalkan rumahku sambil meneriakkan berbagai ejekan.
Para tetangga sampai keluar dari rumah mereka untuk melihat apa yang terjadi.
Aku
menghela napas panjang. Aku tidak berselera untuk makan siang. Padahal ibu
sudah memasak opor kesukaanku. Aku memanjat pohon lagi. Kupandang burung-burung
kecil yang sedang bermain di sarangnya. Lama sekali aku duduk di atas. Hingga
akhirnya ada suara Kak Andi memanggilku. Kelihatannya seperti tergesa-gesa.
“Anne, ayo cepat turun! Dik, aku..” Belum selesai Kak Andi bicara aku sudah
memotongnya. “Aku tahu maksudmu baik. Kamu tidak perlu menghiburku. Aku sudah
biasa dengan situasi seperti ini.” Kak Andi menyela, “Bukan itu maksudku. Aku
tadi mau..” “Sudah! Biarkan aku di sini”, kataku. Kak Andi sudah mulai
kehilangan kesabaran. Dicampakkannya secarik kertas di tangannya ke tanah. “Ya,
sudah! Padahal tadi aku mau memberitahumu kabar baik.” Kak Andi sudah hendak
melangkah pergi. “Hei, nanti dulu! Kertas apa itu?”, tanyaku. Aku cepat-cepat
turun dari pohon. Kak Andi menyerahkan kertas tadi. Raut wajahnya sudah ceria
lagi.
“Kita
semua diundang ke Venesia. Letaknya di Italia. Semua biaya akan ditanggung pemerintah
dan Venice Biennale. Itu adalah pameran lukisan paling bergengsi di dunia!” Kak
Andi menjelaskan. “Tapi aku kan tidak pernah berurusan dengan Veniece Biennal.
Apakah mereka juga ingin menegur tentang formulaku?”, tanyaku dengan tergagap.
Kak Andi tertawa. Rasanya seluruh dunia menertawakanku. “Tentu saja tidak!
Justru sebaliknya. Kamu akan diberi penghargaan karena penemuan formulamu yang
begitu gemilang!”
Aku
terperangah mendengarnya. “Tapi aku kan tidak pernah mengirim surat mengenainya
ke Venice Biennale”, kataku masih terbata-bata karena belum pulih dari rasa
kaget. Kak Andi merangkulku sambil mengajakku masuk ke rumah, “Aku tidak ingin
kamu terus tertekan karena ulah pelukis-pelukis lokal yang berpikiran sempit.
Karena itu aku mengirimkan karya-karyamu ke Venice Biennal. Aku mendapatkan
alamatnya dari internet. Aku menceritakan tentang kegagalanmu dalam lomba,
lukisanmu, penemuan formula, dan pelukis-pelukis lokal yang mencemooh karyamu.
Wah, aku sampai keringat dingin saat membuat surat dalam bahasa inggris.
Sampai-sampai aku harus konfirmasi dengan temanku yang jago bahasa asing itu
dan semua guru bahasa inggris di sekolahku dan guru bahasa inggrismu. Dan
itulah balasannya.” Aku langsung memeluknya. Ternyata Kak Andi begitu sayang
sekali padaku. “Ya, Tuhan Yang Maha Kuasa, terima kasih atas semua berkat yang
telah Kau berikan padaku. Aku bersyukur mempunyai kakak yang begitu sayang
padaku serta orang-orang disekelilingku yang selalu memberikan harapan dan
semangat”
Sore
ini aku memanjat pohon bersama kakak. Kami bisa melihat anak-anak burung itu
sedang belajar terbang. Perlahan tapi pasti, burung-burung kecil itu bisa mengepakkan
sayap mereka agar bisa terbang. Dengan pantang menyerah mereka akhirnya dapat
membumbung ke langit jingga merona. Kami melambai kepada anak-anak burung itu
disambut dengan kicauan induknya.
“Kak,
sekarang aku sadar. Aku harus seperti burung-burung itu. Dengan tabah dan kerja
keras mereka akhirnya bisa terbang ke angkasa. Bertumbuh dewasa dengan suka
cita. Walaupun mereka masih muda tak dipedulikannya rasa takut bila jatuh. Mereka
juga tidak peduli dengan kita yang sedari tadi menontoninya. Aku harus
meneladani mereka!”, tekadku penuh keyakinan. Kak Andi tersenyum lalu meninju
lenganku. Aku membalasnya, tapi dia menghindar dengan tangkas.
Om
Nyoman sudah diberitahu tentang hal ini. Dia memberi selamat padaku
berkali-kali. Ia bangga sekali kepada kakak dan aku. “Ibu, kita harus berkemas
dari sekarang saja. Yuk, kita keluarkan koper tua kita dari gudang”, usulku.
Kami pun sibuk berkemas.
“Aku
mau membawa kaus ini.”
“Kalau
Kak Andi mau membawa topi kesayangan.”
“Ah,
iya! Ibu lupa memasukkan minyak angin dan bedak.”
Kami
sibuk mengemasi ini dan itu. Tampak tumpukan barang-barang di pojok ruangan.
Kemudian aku berjalan untuk melihat kalender. Tiba-tiba aku berseru, “Hei!
Sekarang bulan Desember. Di sana kan sedang musim salju. Kita harus membawa
pakaian hangat.” Akhirnya kami membongkar lagi bawaan kami.
Akhirnya
tiba saatnya kami berangkat. Kami gembira sekali ketika sudah sampai di Italia.
Inilah seumur hidupku pertama kalinya pergi ke luar negeri. Kami disambut
seperti layaknya tamu terhormat. Ini pertama kalinya kami melihat menara Pisa yang
sesungguhnya. Biasanya aku hanya melihatnya dari buku sejarah. Di sana aku juga
disuruh bercerita bagaimana aku bisa melukis dengan formula bahan alamiku.
Sejak
itu aku sering diundang untuk mengadakan pameran di luar negeri. Ibu dan Kak
Andi selalu menyertaiku. Uang yang kudapat dari Venice Biennal kupakai untuk
membuat asrama untuk menampung anak-anak jalanan dan yatim piatu. Di sini
mereka tidak hanya diajari melukis. Aku mengundang guru matematika, sains,
sejarah, dan masih banyak lagi. Kuberi nama Children’s Achievements Palace. Aku
dan Om Nyoman bergantian mengajari mereka melukis. Aku juga membuat tempat
untuk memamerkan hasil karya mereka di dekat pantai di samping karyaku. Banyak
juga anak-anak dari kalangan menengah maupun atas yang belajar melukis padaku
pada jam-jam tertentu. Pelukis-pelukis yang dulu menentangku terperangah ketika
mengetahui bahwa aku diundang Venice Biennal atas keberhasilan formulaku.
Puji
syukur kepada Tuhan karena telah mengabulkan untaian doaku. Terima kasih Ibu, Kak Andi, Om Nyoman dan semua orang yang
senantiasa selalu mendukungku sehingga aku bisa berhasil menggapai cita-citaku.
Terima kasih pula burung-burung kecil yang telah mengispirasiku selama ini...
***
65
tahun kemudian
Kututup buku biografi nenekku. “Tak
kusangka ternyata nenek dulu pernah mengalami jalan yang berliku-liku sebelum
menjadi orang yang sukses. Banyak cobaan yang harus dihadapi untuk mencapai
keberhasilan, terutama untuk berbuat kebaikan. Kini aku menjadi seorang
pemimpin. Aku sudah berusaha memperbaiki masalah pangan dan politik. Kini
negeri ini tidak lagi mengimpor bahan pangan. Sudah jarang ada pejabat yang berani
korupsi. Namun, masih banyak yang mesti kuperbaiki. Aku ingin seperti nenekku
yang hingga saat ini masih menampung anak-anak jalanan dan yatim piatu serta
mengajari mereka banyak hal. Kabarnya mereka banyak yang menjadi orang sukses”,
benakku.
Di atas meja ada banyak sekali
tumpukan kertas. Di tengahnya ada secangkir susu kedelai. Kucium aromanya.
Kuteguk susu yang hangat. Senyumku menghiasi wajah lelahku. Aku bangga
meminumnya karena ini merupakan hasil dari keringat rakyat negeri ini. Masih
banyak tugas dan rintangan yang menanti. Namun, aku sudah siap menghadapinya, karena
aku masih punya secangkir harapan untuk memulai hari ini dengan lebih baik lagi.
**Selesai**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar